ANALISIS MORFOTEKTONIK DAERAH KERTAYASA DAN SEKITARNYA KECAMATAN PANAWANGAN KABUPATEN CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT
ANALISIS MORFOTEKTONIK DAERAH KERTAYASA DAN SEKITARNYA KECAMATAN PANAWANGAN KABUPATEN CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT
5.1 Latar Belakang
DAS merupakan kesatuan wilayah
daratan dan sungai (termasuk anak-anak sungainya), untuk menampung, menyimpan
dan mengalirkan air hujan hingga danau atau laut melalui sungai, seluruh
wilayah daratan dapat dibagi ke dalam satuan DAS yang umumnya dibatasi oleh
batas alam dari topografi gunung, bukit, atau punggungan hingga daerah terendah
(hilir) yang masih dipengaruhi bagian hulu. DAS dapat didefinisikan dalam
berbagai ukuran luas, tergantung pada definisi dan deskripsi yang diberikan,
pada dasarnya, DAS besar terdiri dari beberapa sub DAS dan sub-sub DAS. Sebuah
kawasan dapat didefinisikan sebagai sebuah DAS mulai dari luasan 2 hektar
hingga 30.000 hektar.
Karakteristik morfologi suatu DAS
yang dinyatakan secara kuantitatif disebut dengan morfometri (Horton, 1945).
Perhitungan hubungan secara kuantitatif di formulasikan untuk menjelaskan sifat
alami dari jaringan sungai. Parameter ini banyak digunakan dalam berbagai studi
antara lain untuk mengetahui morfotektonik, air permukaan, karakter banjir,
sedimentasi dan morfologi DAS.
Pulau Jawa merupakan salah satu
daerah tektonik aktif yang berada di Kawasan Indonesia, hal ini disebabkan oleh
aktifitas tumbukan dari dua lempeng yaitu Lempeng Samudra Hindia-Australia dan
Lempeng Eurasia. Lempeng Samudra tersebut menunjam terhadap Lempeng Benua
sehingga menyebabkan adanya fenomena-fenomena geologi seperti aktifitas
vulkanisme dan struktur- struktur geologi. Wilayah Jawa
Barat termasuk salah satu wilayah yang memiliki kerawanan bencana tinggi,
kondisi ini dipengaruhi oleh tatanan geologi yang kompleks sehingga rawan
dengan bencana geologi. Secara umum kerangka tektonik Jawa Barat dapat dibagi
menjadi 5 (lima) wilayah tektonik yaitu Busur Sunda, Sesar Sumatera, Kelurusan
Sunda, Cimandiri – Bogor – Jakarta dan Purwakarta – Baribis – Citaduy
(Soehaimi, 2004). Sesar aktif di Jawa Barat merupakan daerah sumber gempa bumi
yang dikelompokan ke dalam tiga zona sesar aktif utama, yaitu sesar aktif
Cimandiri, sesar aktif Baribis dan sesar aktif Lembang (Soehaimi, Kertapati dan
Setiawan, 2004). Aktivasi sesar ini ditandai oleh catatan gempa bumi yang
merusak wilayah Jawa Barat. Dalam kurun waktu antara 1629 – 2007 setidaknya
telah terjadi 36 kali kejadian gempa bumi yang merusak wilayah Jawa Barat
(Supartoyo, 2008).
5.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah
untuk melakukan analisis morfotektonik pada daerah penelitian berdasarkan
morfometri subDAS daerah Kertayasa dan sekitarnya, Kecamatan Panawangan,
Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat.
Tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui bagaimana morfotektonik pada subDAS di daerah Kertayasa dan
sekitarnya, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat.
5.3 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam kajian
khusus ini adalah mengetahui morfotektonik pada subDAS Kertayasa dan
sekitarnya, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat.
5.4 Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan
geomorfologi kuantitatif yang dimana dapat dibagi menjadi tiga kegiatan utama
yaitu pengumpulan data, pengolahan data dan analisis data. Kajian morfometri
menurut Strahler (1973), di kelompokkan menjadi tiga, yaitu linear, area dan
relief. Hubungan morfomrtri linear mendeskripsikan hirarki lokasi sungai salam
jaringan DAS, orde sungai, dan panjang tiap segmen dan mengukur panjang
geometric DAS.
Penelitian tentang karakteristik
morfometri yang telah dilakukan diantaranya oleh Shimano (1992) pada 180 DAS di
jepang dengan hasil bahwa variable tinggkat percabangan sungai dipengaruhi oleh
litologi batuan asalnya dan penelitian oleh M Bagyaraj dan B. Gurugnanam (2010)
menghasilkan bahwa bagian atas sebuah patahan berasosiasi dengan kerapatan
jaringan dan tingkat indeks percabangan yang tinggi serta orde sungai satu, dua
dan tiga yang lebih banyak.
Untuk mengetahui tingkat
aktivitas tektonik di daerah penelitian diperlukan studi morfotektonik. Dalam
studi morfotektonik analisis morfometri digunakan untuk mengidentifikasi
karakteristik bentuk wilayah serta kaitannya dengan aktivitas tektonik yang
berkembang. Untuk mengolah data parameter morfometri dan
morfotektonik DAS dapat diartikan sebagai nilai kuantitatif pada jaringan
sungai (van Zuidam, 1985). Pada umumnya, morfometri DAS sangat berkaitan dengan
kondisi geomorfologi, batuan, dan iklim pada suatu daerah. Adapun unsur-unsur
morfometri DAS seperti : 1. Luas, panjang, dan lebar DAS,
2. Bentuk DAS, 3. Orde dan tingkat percabangan sungai, 4. Kerapatan sungai
dan parameter yang menjadi karakteristik morfotektonik adalah: 1. Kelurusan
sungai,
2. Nilai
sinusitas muka pegunungan (Smf).
Gambar
5.1 Diagram alur penelitian
5.5 Landasan Teori
5.5.1 Pengertian DAS
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah
kesatuan daerah yang dibatasi topografi berupa pnggungan – punggungan bukit
dimana jika air hujan jatuh maka airnya mengalir ke dalam sungai yang
bersangkutan dan subDAS adalah suatu daerah yang dibatasi alami oleh topografi
berupa punggungan – punggungan bukit yang memisahkan anak – anak sungai yang
menuju sungai utama (Asdak, 2010).
DAS dibagi menjadi 3 bagian yaitu
bagian hulu, bagian tengah, dan bagian hilir (Asdak, 2010). Ciri-ciri pada
setiap bagian DAS dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Bagian
Hulu
a) Merupakan
daerah konservasi.
b) Mempunyai
kerapatan drainase lebih tinggi.
c) Merupakan
daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 20%).
d) Bukan
merupakan daerah banjir.
e) Pengaturan
air ditentukan oleh pola drainase.
2) Bagian
Tengah
Daerah Aliran Sungai bagian tengah merupakan daerah
transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di
atas. (Asdak, 2010).
3) Bagian
Hilir
a) Merupakan
daerah pemanfaatan.
b) Kerapatan
drainase lebih kecil.
c)
Merupakan daerah dengan
kemiringan lereng kecil sampai sangat kecil (kurang dari 10 %).
d) Pada
beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan).
e) Pengaturan
pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi.
5.5.2 Fungsi DAS
Salah satu fungsi DAS adalah fungsi hidrologis,
dimana fungsi tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah curah hujan yang
diterima, geologi dan bentuklahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud
termasuk kapasitas DAS untuk mengalirkan air, menyangga kejadian puncak hujan,
melepaskan air secara bertahap, memelihara kualitas air, serta mengurangi
pembuangan massa (seperti terhadap longsor). Fungsi suatu DAS merupakan fungsi
gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor yang ada pada DAS tersebut, yaitu
vegetasi, bentuk wilayah (topografi), tanah, dan manusia. Apabila salah satu
faktor tersebut mengalami perubahan, maka hal tersebut akan mempengaruhi juga
ekosistem DAS tersebut dan akan menyebabkan gangguan terhadap bekerjanya fungsi
DAS. Apabila fungsi suatu DAS telah terganggu, maka sistem hidrologisnya akan
terganggu, penangkapan curah hujan, resapan dan penyimpanan airnya menjadi
sangat berkurang atau sistem penyalurannya menjadi sangat boros. Kejadian itu
akan menyebabkan melimpahnya air pada musim penghujan dan sangat minimum pada
musim kemarau, sehingga fluktuasi debit sungai antara musim hujan dan musim
kemarau berbeda tajam.
5.5.3 Morfometri DAS
Morfometri adalah keadaan
morfologi sungai yang dinyatakan secara kuantitatif (Horton, 1945). Variabel
yang digunakan dalam penelitian mengenai morfometri antara lain luas DAS,
panjang dan lebar DAS, bentuk DAS, kerapatan jaringan sungai, tingkat percabangan
sungai, gradient kemiringan sungai dan sinusitis muka pegunungan (smf).
Kerapatan jaringan sungai menunjukkan karakteristik batuan, iklim, tanah dan
vegetasi sedangkan relief rasio menunjukkan laju sedimentasi dari suatu DAS.
5.5.3.1 Luas dan Panjang DAS
Garis batas antara DAS adalah
punggung permukaan bumi yang dapat memisahkan dan membagi air hujan ke
masing-masing DAS. DAS merupakan tempat pengumpulan presipitasi ke suatu sistem
sungai. Luas daerah aliran dapat diperkirakan dengan mengukur daerah tersebut
pada peta topografi dan citra inderaan jauh 3D.
Panjang DAS adalah sama dengan
jarak datar dari muara sungai kearah hulu sepanjang sungai induk sedangkan
lebar DAS adalah perbandingan antara luas DAS dengan panjang sungai induk.
Lebar DAS tidak ditemukan dengan pengukuran langsung tetapi dengan rumus
berikut (Seyhan, 1997).
W = A/Lb
Keterangan
:
W = lebar
DAS (Km)
A = luas
DAS (Km)
Lb =
panjang sungai utama (Km)
5.5.3.2 Kemiringan atau Gradien Sungai
Kemiringan DAS menjadi parameter
yang penting dalam suatu daerah aliran sungai. Peningkatan nilai relief dan
lereng yang curam mengakibatkan waktu yang di perlukan pada saat pengumpulan
air menjadi lebih singkat, selain berpengaruh terhadap banjir, kemiringan DAS
juga berpengaruh terhadap proses erosi.
Gradien atau kemiringan sungai
dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut:
G = Jarak Vertikal/Jarak Horisontal
Keterangan
:
G =
Gradien Sungai
J.
Vertikal = Beda tinggi antara hulu dengan hilir (m)
J.
Horisontal = Panjang sungai induk (m)
5.5.3.3 Orde dan Tingkat Percabangan Sungai
1.) Orde Sungai
Orde sungai adalah nomor urutan
setiap segmen sungai terhadap sungai induknya. Metode penentuan orde sungai
yang banyak digunakan adalah metode strahler (1975). Sungai orde 1 menurut
starhler adalah anak-anak sungai yang letaknya paling ujung dan dianggap
sebagai sumber mata air pertama dari anak sungai tersebut. Segmen sungai hasil
pertemuan dari orde yang setingkat adalah orde 2, dan segmen sungai sebagai
hasil pertemuan dari dua orde sungai yang tidak setingkat adalah orde sungai
yang lebih tinggi.
Gambar 5.2 Penentuan Orde Sungai Dengan Metode Strahler (Strahler, 1975)
2.) Tingkat percabangan sungai
Untuk
menghitung tingkat percabangan sungai dapat digunakan rumus:
Rb = Nu/Nu+1
Keterangan
:
Rb =
Indeks tingkat percabangan sungai
Nu =
jumlah alur sungai untuk orde ke u
Nu + 1 =
jumlah alur sungai untuk orde ke u +
Dalam Schumm (1956), indeks
tingkat percabangan sungai (Rb) dapat dinyatakan dengan keadaan sebagai berikut
:
Rb < 3: Alur sungai tersebut
akan mempunyai kenaikan muka air banjir dengan cepat, sedangkan penurunannya
berjalan lambat.
Rb 3 – 5: Alur sungai tesebut
mempunyai kenaikan dan penurunan muka air banjir yang tidak terlalu atau tidak
terlalu lambat.
Rb > 5: Alur sungai tersebut
mempunyai kenaikan muka air banjir dengan cepat, demikian pula penurunannya
akan berjalan dengan cepat.
5.5.3.4 Kerapatan Jaringan Sungai
Kerapatan sungai adalah suatu
indeks yang menunjukkan banyaknya anak sungai dalam suatu daerah pengaliran.
Horton, (1945) menyatakan bahwa kerapatan jaringan sungai merupakan perluasan
fungsi dari besarnya kapasitas infiltrasi dan ketahanan terhadap erosi.
Kerapatan sungai rendah terlihat pada daerah dengan jenis tanah yang tahan
terhadap erosi atau sangat permeable. Nilai yang tinggi dapat terjadi pada
panah yang mudah tererosi atau permeable yang rendah, dengan kemiringan tanah
yang curam, dan hanya sedikit ditumbuhi tanaman (Sosrodarsano dan Takeda,
2003).
Definisi
kerapatan aliran diatas dapat dijabarkan dalam rumus berikut:
Dd = L/A
Keterangan:
Dd =
Kerapatan aliran
L=
Panjang Sungai (Km)
A = Luas
DAS (km2)
Sosrodarsono dan Takeda (2003)
menyatakan bahwa biasanya indeks kerapatan sungai adalah 0,30 – 0,50 dan
dianggap sebagai indeks yang menunjukkan keadaan topografi dan geologi dalam
DAS. Indeks kerapatan sungai akan kecil pada kondisi litologi yang permeabel di
pegunungan-pegunungan dan di lereng-lereng, tetapi besar unutuk daerah yang
banyak curah hujannya. Nilai dari indeks kerapatan sungai dibagi berdasarkan
beberapa kelas dengan karakteristik yang berbeda-beda.
Semakin besar nilai Dd semakin
baik sistem drainasenya. Secara kuantitatif nilai Dd dikelompokan sebagai
berikut:
Tabel 5.1
Nilai Dd menurut soewarno, 1991
5.5.3.5 Bentuk DAS dan Nisbah Perpanjangan Sungai
Bentuk DAS yang tergambar pada suatu
peta jaringan sungai adalah batas artificial atau batas buatan, karena pada
kenyataannya batas tersebut tidak tampak di lapangan. Batas tersebut meskipun
tidak tampak di lapangan tetapi pada kenyataannya, batas tersebut membatasi
jumlah air hujan yang jatuh di atasnya. Batas DAS besar tersusun atas beberapa
sub-DAS, dan sebuah sub-DAS kemungkinan tersusun oleh beberapa sub-sub-DAS dan
untuk jelasnya lihat ilustrasi berikut (lihat Gambar 3.3).
Gambar 5.3 Batas DAS hingga
Sub-DAS (Strahler, 1975) Banyak-sedikitnya jumlah air hujan yang diterima suatu
DAS, bergantung
atas luas atau tidaknya DAS tersebut serta
tegas-tidaknya batas antar DAS. DAS yang memiliki luasan besar tentunya akan
menghasilkan debit puncak yang lebih besar daripada DAS yang kecil. Prediksi
debit puncak secara relatif dapat didekati selain dengan luas DAS adalah dengan
bantuan bentuk DAS. Apabila diasumsikan intensitas hujan, luas dan topografi
dua buah DAS adalah sama tapi bentuk DAS-nya berbeda (misal panjang dan bulat)
maka karakteristik alirannya dapat diperbandingkan secara relatif. Bentuk DAS
panjang akan memiliki waktu mencapai puncak yang lebih lama daripada bentuk DAS
bulat, sedangkan debit DAS berbentuk bulat adalah lebih besar daripada bentuk
DAS yang panjang. Ilustrasi berbagai bentuk DAS beserta debit puncak yang
digambarkan dalam bentuk kurva hidrograf aliran dapat dilihat pada Gambar 3.4
Gambar 5.4 Bentuk Hidrograf Daerah Aliran Sungai
dan Limpasan (Seyhan, 1997).
Untuk
menghitung bentuk DAS dapat digunakan rumus:
Rc = 4µA/P²
Keterangan:
Rc =
Basin circularity
A = Luas
DAS (m2)
P =
Keliling (m)
п = 3,14
Nisbah
Perpanjangan Sungai Schumm (dalam Seyhan, 1981), mengatakan
bahwa
nisbah perpanjangan (Re) adalah nisbah antara garis tengah suatu lingkaran
yang mempunyai luas sama dengan luas DAS, dengan
panjang sungai utama.
Re = (2√(A/µ))/Lb
Keterangan:
Re =
Nisbah perpanjangan
A = Luas
DAS
Lb =
panjang sungai induk
Tabel 5.2
Bentuk Daerah Aliran Sungai menurut Soewarno, 1991
No | Indeks | Keterangan | |
1 | Rc > Re | Membulat | Laju aliran permukaan lebih cepat sehingga |
konsentrasi air lebih cepat | |||
2 | Rc < Re | Memanjang | Laju aliran permukaan lebih lambat sehingga |
konsentrasi air lebih lambat | |||
5.5.3.6 Kelurusan
Kelurusan didefinisikan sebagai
kelurusan bentangalam yang menggambarkan bentuk batuan alas yang terkubur
(Hobbs, 1904), sedangkan O’Leary et., (1976) mendefinisikan kelurusan adalah
kenampakkan linier sederhana atau kelompok dipermukaan bumi yang terpetakan,
mempunyai kenampakan yang lurus atau agak melengkung, dapat di bedakan dengan
kenampakan di sekitarnya, dan diduga merupakan gejala di bawah permukaan. Dalam
hal ini yang dimaksud dengan kelurusan adalah kenampakan garis yang dicerminkan
oleh sungai atau lembah yang diduga sebagai sesar atau rekahan.
5.5.3.7 Morfometri Non DAS
Mountain Front Sinuosity (Smf) /
Sinusitas Muka Pegunungan (Smf) Sinusitas muka pegunungan (Smf) merupakan
rangkaian pegunungan yang
Smf = Lmf / Ls
Keterangan:
Lmf = Panjang lekukan
muka pegunungan pada bagian
bagian bawah
terdapat pada bagian depan atau muka yang menghadap
ke daerah dataran. Muka pegunungan tersebut merupakan kumpulan kenampakan
bentang alam yang terdiri dari gawir, sungai yang mengikis gawir tersebut dan
bentuk lahan baru. Muka pegunungan pada umumnya merupakan bidang sesar atau
zona sesar dan dapat terbentuk pada semua jenis sesar, yaitu sesar naik,
normal, dan mendatar. Persamaan untuk menghitung muka pegunungan (Smf) adalah:
Gambar
5.5 Ilustrasi metode smf (Bull dan McFadden, 1977).
Tabel 5.3 Klasifikasi derajat aktivitas tektonik
berdasarkan indeks sinuitas muka gunung (Doornkamp, 1986)
5.6 Hasil Analisa Pembahasan
Dari hasil deliniasi subDAS
daerah Ciranggem kecamatan Cadasngampar digunakan untuk menganalisa beberapa
variabel dengan cara menghitung morfometri subDAS tersebut. Dalam studi morfotektonik,
analisis morfometri digunakan untuk mengidentifikasi karakter bentuk suatu
wilayah dan kaitannya dengan tingkat aktifitas tektonik.
5.6.1 Hasil Nilai Morfometri DAS
5.6.1.1 Analisis Luas dan Panjang DAS Daerah
Penelitian
Luas daerah aliran sungai di
dapatkan hasil 9x6 Km dari keluasan lokasi daerah penelitian yang dimana pada
lokasi tersebut panjang 9 Km dan lebar 6 Km dengan keluasan 54 Km.
Dari data perhitungan nilai panjang jarak datar
dari muara sungai ke arah hulu sepanjang sungai induk di DAS ci Bubuhan
didapatkan nilai 3,44 dan sungai di DAS ci Racak di dapatkan nilai 8,7 Km.
Sedangkan lebar DAS adalah perbandingan antara luas DAS dengan panjang sungai
induk.
W = A/Lb
Keterangan:
W = lebar
DAS (Km)
A = luas
DAS (Km)
Lb =
panjang sungai utama (Km)
Dari
hasil perhitungan rumus diatas diketahui:
DAS CI
BUBUHAN DAS CI RACAK
Lebar (W)
= 54 /15,7 (Km) Lebar (W)
= 54 /6,2 (Km)
= 3,44
(Km) = 8,7 (Km)
5.6.1.2 Analisis Kemiringan atau Gradien Sungai
Gradien atau kemiringan sungai dapat diperoleh dengan persamaan
sebagai
berikut:
G = Jarak Vertikal/Jarak Horisontal
Keterangan:
G =
Gradien Sungai
J.
Vertikal = Beda tinggi antara hulu dengan hilir (m)
J.
Horisontal = Panjang sungai induk (m)
Dari data
perhitungan nilai kemiringan atau gradient sungai di dapatkan:
DAS CI BUBUHAN
Gradien
Sungai = 250 / 15750 (m)
= 0,015
(m)
DAS CI RACAK
Gradien Sungai = 100 / 6275 (m)
= 0,015
(m)
5.6.1.3 Analisis Orde dan Tingkat Percabangan
Sungai
1.) Orde Sungai
Alur
sungai dalam suatu DAS dapat dibagi dalam beberapa orde sungai.
Orde
sungai adalah posisi percabangan alur sungai di dalam urutannya terhadap
induk
sungai di dalam suatu DAS. Dengan demikian makin banyak jumlah orde
sungai
akan semakin luas pula DAS nya dan akan semakin panjang pula alur
sungainya.
Gambar
5.6 Peta orde sungai daerah penelitian
Tabel 5.4 Hasil perhitungan orde sungai
DAS CI
BUBUHAN
subDAS | Orde 1 | Orde 2 | Orde 4 | ||||||||||
Jumlah | 78 | 21 | 1 | ||||||||||
DAS CI RACAK | |||||||||||||
subDAS | Orde 1 | Orde 2 | Orde 3 | Orde 4 | |||||||||
Jumlah | 27 | 4 | 1 | 1 | |||||||||
Tingkat
percabangan sungai (bufurcation ratio) adalah angka atau indeks
yang
ditentukan berdasarkan jumlah alur sungai untuk suatu orde.
2.) Tingkat percabangan sungai
Untuk
menghitung tingkat percabangan sungai dapat digunakan rumus:
Rb = Nu/Nu+1
Keterangan:
Rb =
Indeks tingkat percabangan sungai
Nu = jumlah
alur sungai untuk orde ke u
Nu + 1 =
jumlah alur sungai untuk orde ke u +
Tabel 5.5 Hasil perhitungan tingkat percabangan
sungai
DAS CI
BUBUHAN
Rb | Rb1/2 | Rb2/4 | ||||||||
Jumlah | 1,0 | 1,9 | ||||||||
DAS CI RACAK | ||||||||||
Rb | Rb1/2 | Rb2/3 | Rb3/4 | |||||||
Jumlah | 1,2 | 1,6 | 1 | |||||||
Pada data tingkat percabangan
sungai di DAS Ci Bubuhan didapatkan nilai rasio 1,0 sampai 1,9 sedangkan untuk
percabangan sungai di DAS Ci Racak didapatkan nilai 1 sampai 1,6. Dari kedua
nilai Rb ini menandakan alur sungai tersebut mempunyai kenaikan muka air banjir
dengan cepat, sedangkan penurunannya berjalan lambat. Setelah melakukan
pengukuran didapat bahwa subDAS daerah Gardujaya dari orde 1, 2 dan orde 4
memiliki 100 segmen sungai, dan rasio subDAS daerah Gardujaya tersebut memiliki
rentang nilai 1,0 sampai 1,9. Sedangkan nilai subDAS daerah Kertayasa dari orde
1 sampai orde 4 memiliki 33 segmen sungai, dan rasio subDAS daerah Kertayasa
tersebut memiliki rantang nilai 1 sampai 1,6. Nilai yang didapat merupakan
indikasi telah terjadi deformasi akibat pengaruh tektonik bila nilai rasio
cabang sungai kurang dari 3 dan lebih dari 5 (Strahler, 1964; dalam Verstappen,
1983).
5.6.1.4 Analisis Kerapatan Jaringan Sungai
Kerapatan aliran/drainase DAS
merupakan indeks yang menunjukan banyaknya anak sungai dalam suatu DAS,
dinyatakan dengan perbadingan antar panjang keseluruhan dengan luas DAS. Atau
bisa diartikan seperti ini, kerapatan aliran/drainase DAS adalah panjang total
sungai (sungai utama + anak sungai) dibagi dengan luas DAS
Definisi
kerapatan aliran diatas dapat dijabarkan dalam rumus berikut:
Dd = L/A
Keterangan:
Dd =
indeks kerapatan sungai (km/km2)
L =
jumlah panjang sungai termasuk anak-anak sungainya (Km)
A = Luas
DAS (km2)
DAS CI
BUBUHAN DAS CI RACAK
Kerapatan aliran = 86750 / 54 Kerapatan
aliran = 36275 / 54
= 1,606
(Km/Km²) =
6,717 (Km/Km²)
Nilai kerapatan pengaliran (Dd)
masuk kedalam katagori sedang karena alur sungai melewati batuan dengan
resistensi yang lebih lunak, sehingga angkutan sedimen yang terangkut aliran
akan lebih besar (Soewarno, 1991). Hal ini menandakan bahwa secara keselurahan
subDAS di daerah penelitian memiliki kemampuan menampung air yang cukup dan
permeabelitas tanah yang baik pula.
5.6.1.5 Analisis Bentuk DAS dan Nisbah Perpanjangan
Sungai
Bentuk
Daerah Aliran Sungai Pola sungai menentukan bentuk suatu DAS.
Bentuk
DAS mempunyai arti penting dalam hubungannya dengan aliran sungai,
yaitu
berpengaruh terhadap kecepatan terpusat aliran. Menurut Gregari dan
Walling
(1975).
Rc = 4µA/P²
Keterangan:
Rc =
Basin circularity
A = Luas
DAS (m2)
P =
Keliling (m)
п = 3,14
DAS CI BUBUHAN
Basin
circularity = 4.3,14.54/4898,4 = 0,13
DAS CI RACAK
Basin
circularity = 4.3,14.54/2986 = 0,29
Nilai
perhitungan nisbah perpanjangan sungai
Re = (2√(A/µ))/Lb
Keterangan:
Re =
Nisbah perpanjangan
A = Luas
DAS
Lb =
panjang sungai induk
DAS CI BUBUHAN
Nisbah
perpanjangan sungai = (2√ (54/3,14))/15,7 = 0,52
DAS CI RACAK
Nisbah
perpanjangan sungai = (2√ (54/3,14))/6,2 = 1,33
5.6.1.6 Kelurusan Daerah Penelitian
Analisa kelurusan dengan
menggunakan data citra DEM dimaksudkan untuk mengamati pola-pola kelurusan.
Pada daerah penelitian memiliki arah kelurusan relative berarah barat laut –
tenggara yang didukung dari data citra Dem dan pola kelurusan sungai.
Gambar 5.7 Kombinasi kelurusan citra DEM dan
kelurusan sungai daerah penelitian
Berdasarkan dari hasil penarikan kelurusan citra
DEM dan kelurusan sungai pada gambar (5.7) menghasilkan diagram rosette sebagai
berikut:
Gambar
5.8 Hasil kelurusan dari diagram rosette daerah penelitian.
Dari diagram rosette dapat
dilihat bahwa arah struktur geologi di daerah penelitian dominan ke arah
relative Barat – timur dan utara -selatan. Aktifitas tektonik dapat diketahui
melalui analisis morfotektonik berdasarkan data/informasi yang diperoleh dari
nilai Smf.
5.6.1.7 Analisa Morfometri Non DAS
Pada analisa Smf ini dilakukan
untuk mengetahui tingkat aktifitas tektonik pada daerah penelitian yang dimana
pada analisa ini dibantu dengan kelurusan punggungan dan lembah. Interpretasi
kelurusan punggungan maupun lembah, menggunakan data berupa citra DEM
dimaksudkan untuk mengamati pola-pola kelurusan yang konsisten yang nantinya
dapat membantu dalam interpretasi struktur geologi di daerah penelitian.
Persamaan
untuk menghitung muka pegunungan (Smf) adalah:
Smf = Lmf / Ls
Keterangan:
Lmf = Panjang lekukan muka pegunungan pada bagian bagian bawah Ls =
Jarak lurus muka pegunungan
Tabel 5.6 Nilai perhitungan Smf
DAS CI
BUBUHAN
No | Smf 1 | Smf 2 | Smf 3 | ||||||||
1 | 1,2 | 1,0 | 1,3 | ||||||||
DAS CI RACAK | |||||||||||
No | Smf 1 | Smf 2 | Smf 3 | ||||||||
1 | 1,0 | 1,2 | 1,3 | ||||||||
Gambar
5.9 Hasil analisis Smf pada daerah penelitian.
Dari data perhitungan sinusitis
pegunungan telah didapat nilai di DAS Ci bubuhan 1,0 - 1,3 dan nilai DAS CI
Racak adalah 1,0 – 1,3 menandakan adanya tektonik aktif menurut (Doornkamp,
1986) dalam penentuan derajat aktivitas tektonik berdasarkan indeks sinusitis
muka gunung.
5.7 Pembahasan
Analisis morfotektonik Daerah
Aliran Sungai (DAS) yang dibagi atas 2 DAS di daerah penelitian yaitu DAS CI
BUBUHAN dan DAS CI RACAK. Pada daerah penelitian dilakukan melalui penilaian
secara kuantitatif terhadap berbagai indek geomorfik, yaitu dengan melakukan
berbagai perhitungan morfometri DAS dan morfometri non-DAS. Perhitungan
morfometri DAS dan morfometri lembah/gunung yang dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara kondisi morfotektonik dan tingkat aktifitas tektonik di daerah
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Sinuitas
Muka Gunung
2. Rasio
Cabang Sungai
3. Kerapatan
Pengaliran
Dari ketiga aspek tersebut dapat
disimpulkan bahwa daerah memiliki pengaruh deformasi dan aktivitas tektonik
yang cukup kuat, dapat dilihat dari nilai Dd, Rb dan Smf. Nilai Smf menandakan
bahwa aktivitas tektonik masuk ke dalam kategori aktif.
Silahkan download filenya dibawah ini sebagai acuan, bahan bacaan dan lainnya
Jika teman-teman masih bingung cara download silahkan klik link di bawah ini (CATATAN : LANGSUNG KE LANGKAH NO.7):