GEOLOGI DAERAH SUMBERMANJING WETAN, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN, KABUPATEN MALANG, JAWA TIMUR








GEOLOGI
DAERAH SUMBERMANJING WETAN, KECAMATAN SUMBERMANJING
WETAN, KABUPATEN MALANG, JAWA TIMUR













Gambar 1.1 Peta daerah penelitian (tanpa skala)









Penelitian ini dilakukan
oleh :


1.        
Nama            :
Odhi Febriarto,S.T.


2.        
Alumni         :
STTNAS Yogyakarta


3.        
Koordinat    : 112°
40' 20.1" BT - 112° 45' 15" BT dan 8° 13' 57.4" LS - 8° 17'
11.5" LS


4.        
Tahun           :
2018










 2.1.1      
Geomorfologi Daerah Penelitian


Geomorfologi
daerah penelitian dibagi menjadi beberapa sub bab yaitu: satuan geomorfologi,
pola pengaliran, stadia sungai dan stadia daerah.








2.1.1.1     
Satuan Geomorfologi


Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian
ditentukan melalui analisis pada peta topografi dengan melihat pola
- pola kontur, kemudian melakukan sayatan
morfometri
(pengukuran
beda tinggi dan sudut lereng) pada peta topografi
serta melakukan pengamatan lapangan untuk hasil morfogenesisnya. Penamaan
satuan berdasarkan klasifikasi kelerengan dan relief (van Zuidam dan Cancelado,
1979) diikuti dengan morfogenesis (van Zuidam, 1983). Terdapat tujuh satuan
geomorfologi yang ada pada daerah penelitian, yaitu: satuan geomorfologi
bergelombang lemah – bergelombang kuat denudasioanl (D7), bergelombang lemah
denudasional (D5), perbukitan – tersayat kuat denudasional (D3), bergelombang
kuat – perbukitan denudasional (D2), tersayat kuat – pegunungan karst (K3),
perbukitan – tersayat kuat karst (K2), dan bergelombang lemah fluvial (F1).


2.1.1.1.1    
Satuan
Geomorfologi Bergelombang Lemah – Bergelombang Kuat Denudasional (D7)


  Satuan
geomorfologi ini menempati ± 8,94% dari keseluruhan daerah penelitian yaitu
meliputi Desa Majang Tengah dan sebagian kecil Druju. Secara morfometri satuan
ini mempunyai kelerengan rata – rata 8,88% dan beda tinggi rata – rata 16,66
meter (Lampiran hal 198). Satuan geomorfologi ini mempunyai kode D7 (van
Zuidam, 1983) yang berarti kaki lereng, relatif rendah, lereng hampir datar
sampai rendah dan topografi bergelombang dalam tahap aktif.




Bentukan asal ditandai adanya soil tebal, pelapukan yang intensif dan keterdapatan beberapa
singkapan batuan yang masih segar.  Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan penduduk
sebagai hutan (Gambar 2.2). Pola pengaliran pada satuan ini adalah dendritic. Litologi penyusun berupa kalkarenit
dan breksi andesit.





Gambar 2.2  Bergelombang
lemah – kuat denudasional (foto diambil dari LP 03 lensa menghadap ke selatan).



2.1.1.1.1    
Satuan
Geomorfologi Bergelombang Lemah Denudasional (D5)


Satuan geomorfologi ini menempati ± 22,35% dari
keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Harjokuncaran, Sumbermanjing
Wetan, dan Sumbersuko. Secara morfometri satuan ini mempunyai kelerengan rata –
rata 5,79% dan beda tinggi rata – rata 14,28 meter (Lampiran hal 199). Satuan
geomorfologi ini mempunyai kode D5 (van Zuidam, 1983) yang berarti peneplains atau dataran mempunyai
karakteristik hampir datar atau topografi landai sampai bergelombang. 








Bentukan asal ditandai adanya soil tebal, pelapukan yang intensif dan keterdapatan beberapa
singkapan batuan yang masih segar. Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan
penduduk sebagai pemukiman, sawah, perkebunan, ladang dan hutan (Gambar 2.3).
Pola pengaliran pada satuan ini adalah dendritic.
Litologi penyusun berupa batupasir, tuf dan breksi andesit.





Gambar 2.3 Bergelombang lemah denudasional
(foto diambil dari LP 27 lensa menghadap ke utara).



2.1.1.1.1    
Satuan
Geomorfologi Perbukitan – Tersayat Kuat Denudasional (D3)


Satuan geomorfologi ini menempati ± 15,36% dari
keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Sumbersuko, Tegalrejo,
Sekarbanyu, Ringin Kembar dan sebagian kecil Sumbermanjing Wetan. Secara
morfometri satuan ini mempunyai kelerengan rata – rata 37,99% dan beda tinggi
rata – rata 36,72 meter (Lampiran hal 
199).
 Satuan geomorfologi ini mempunyai kode D3 (van
Zuidam, 1983) yang berarti denudational
hills and mountain
atau pegunungan dan perbukitan denudasional mempunyai
karakteristik lereng berbukit curam hingga topografi pegunungan atau tersayat
menengah sampai kuat.








Bentukan asal ditandai adanya pelapukan yang intensif
dan dibeberapa tempat terdapat singkapan yang masih segar. Satuan geomorfologi
ini dimanfaatkan penduduk sebagai pemukiman, sawah, perkebunan, ladang dan
hutan (Gambar 2.4). Pola pengaliran pada satuan ini adalah trellis. Litologi penyusun breksi andesit skoria.





Gambar 2.4 Perbukitan
- tersayat kuat denudasional (foto diambil dari LP 33 lensa menghadap ke utara).



2.1.1.1.1    
Satuan
Geomorfologi Bergelombang Kuat – Perbukitan Denudasional (D2)


Satuan geomorfologi ini menempati ± 29,13% dari
keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Druju, Ringinsari, Argotirto
dan sebagian kecil Hargokuncaran dan Ringin Kembar. Secara morfometri satuan
ini mempunyai kelerengan rata – rata 19,41% dan beda tinggi rata – rata 27,63
meter (Lampiran hal 200). Satuan geomorfologi ini mempunyai kode D2 (van
Zuidam, 1983) yang berarti denudational
slopes amd hills
atau perbukitan dan lereng denudasional mempunyai
karakteristik dengan erosi sedang sampai parah.








Bentukan asal ditandai adanya pelapukan yang intensif,
soil yang tebal dan dibeberapa tempat
terdapat singkapan yang masih segar. Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan
penduduk sebagai pemukiman, sawah, dan perkebunan (Gambar 2.5). Pola pengaliran
pada satuan ini adalah parallel
dengan tekstur sedang. Litologi penyusun kalkarenit, kalsilutit, kalsirudit dan
batugamping terumbu.





Gambar 2.5 Bergelombang
kuat - perbukitan denudasional (foto diambil dari LP 28  lensa menghadap ke selatan).



2.1.1.1.1    
Satuan
Geomorfologi Tersayat Kuat – Pegunungan Karst (K3)


Satuan geomorfologi ini menempati ± 17,94% dari
keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Druju, Sumbermanjing Wetan,
dan Klepu. Secara morfometri satuan ini mempunyai kelerengan rata – rata 57,17%
dan beda tinggi rata – rata 64,41 meter (Lampiran hal 201). Satuan geomorfologi
ini mempunyai kode K3 (van Zuidam, 1983) yang berarti karstic/denudational hills and mountain atau perbukitan dan
pegunungan karst denudasional mempunyai karakteristik topografi dengan lereng
menengah sampai pegunungan dan permukaan berbatu.








Bentukan asal ditandai adanya produk eksokarst berupa
lapies dan produk endokarst berupa ornament goa stalaktit. Satuan geomorfologi
ini dimanfaatkan penduduk sebagai ladang dan hutan (Gambar 2.6). Pola
pengaliran pada satuan ini adalah dendritic.
Litologi penyusun berupa batugamping terumbu dan batugamping kristalin.





Gambar 2.6 Tersayat
kuat – pegunungan karst (foto diambil dari LP 72 lensa menghadap ke barat).



2.1.1.1.1    
Satuan
Geomorfologi Perbukitan - Tersayat Kuat Karst (K2)


Satuan geomorfologi ini menempati ± 5,65% dari
keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Druju dan Sumbersuko. Secara
morfometri satuan ini mempunyai kelerengan rata – rata 34,77% dan beda tinggi
rata – rata 27,92 meter (Lampiran hal 202). Satuan geomorfologi ini mempunyai
kode K2 (van Zuidam, 1983) yang berarti karstic/denudational
slope and hills
atau lereng karst deudasional mempunyai karakteristik
lereng karst pada batugamping yang relatif keras.








Bentukan asal ditandai adanya produk eksokarst berupa
lapies dan produk endokarst berupa ornament goa stalaktit dengan tipe flowstone. Satuan geomorfologi ini
dimanfaatkan penduduk sebagai hutan (Gambar 2.7). Pola pengaliran pada satuan
ini adalah dendritic. Litologi
penyusun berupa batugamping terumbu kristalin.





Gambar 2.7 Perbukitan
- tersayat kuat karst (foto diambil dari LP 35 lensa menghadap ke selatan).



2.1.1.1.1    
Satuan
Geomorfologi Bergelombang Lemah Fluvial (F1)


Satuan geomorfologi ini menempati ± 0,63% dari
keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Tawangrejeni. Secara
morfometri satuan ini mempunyai kelerengan rata – rata 5,39% dan beda tinggi
rata – rata 12,5 meter (Lampiran hal 204). Satuan geomorfologi ini mempunyai
kode F1 (van Zuidam, 1983) yang berarti rivers
beds
mempunyai karakteristik hampir datar, topografi teratur dengan garis
batas permukaan air yang bervariasi mengalami erosi dan bagian yang
terakumulasi.








Bentukan asal ditandai adanya hasil dari proses
fluvial. Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan penduduk sebagai hutan (Gambar
2.8). Litologi penyusun berupa endapan ukuran pasir – bongkah dengan komposisi
material lepas andesit dan batugamping.





Gambar 2.8 Bergelombang
lemah fluvial (foto diambil dari LP 73 dengan lensa menghadap ke barat).



2.1.1.1      Pola Pengaliran


Berdasarkan dari pengamaan peta topografi maupun pengamatan di
lapangan, pola pengaliran di daerah penelitian dapat dibagi menjadi dua pola
pengaliran utama (Gambar 2.9) yaitu pola trellis dan dendritic.
Pembagian pola aliran didasarkan dari j
enis
- jenis pola aliran sungai menurut
Howard, (1967) dalam Thornbury, 1969).








Pola pengaliran (drainage patern) merupakan suatu pola dalam
kesatuan ruang yang merupakan hasil penggabungan dari beberapa individu sungai
yang saling berhubungan suatu pola dalam kesatuan ruang (Thornbury, 196). Pola
dasar aliran sungai oleh Howard (1976) dalam Thornbury (1969).





Gambar 2.9 Pola pengaliran pada
daerah penelitian memiliki
trellis dan dendritic.



2.1.1.1.1     Pola Pengaliran trellis


Pola pengaliran ini menempati ± 20% dari total luasan daerah penelitian.
Sungai yang termasuk pola pengaliran trellis adalah Kali Kampungbaru,
Kali Klepu dan Kali Ringinkembar. Pola pengaliran trellis adalah pola
aliran yang menyerupai bentuk pagar yang umum dijumpai di perkebunan anggur.
Pola aliran trellis dicirikan oleh sungai yang mengalir lurus di sepanjang
lembah dengan cabang-cabangnya berasal dari lereng yang curam dari kedua
sisinya. Sungai utama dengan cabang-cabangnya membentuk sudut tegak lurus sehingga
menyerupai bentuk pagar. Pola aliran trellis adalah pola aliran sungai
yang berbentuk pagar (trellis) dan dikontrol oleh struktur geologi
berupa perlipatan sinklin dan antilin. Sungai trellis dicirikan oleh
saluran-saluran air yang berpola sejajar, mengalir searah kemiringan lereng dan
tegak lurus dengan saluran utamanya. Saluran utama berarah searah dengan sumbu
lipatan (Howard, 1967).


2.1.1.1.2     Pola Pengaliran Dendritic


Pola pengaliran ini menempati ± 70% dari total luasan daerah. Sungai
yang termasuk pola dendritic adalah Kali Lesti, Kali Goro, Kali
Sentongan dan Kali Bangbang. Pola pengaliran dendrtitic adalah pola aliran yang cabang-cabang
sungainya menyerupai struktur pohon. Pada umumnya pola aliran sungai dendritik
dikontrol oleh litologi batuan yang homogen. Pola aliran dendritik dapat
memiliki tekstur/kerapatan sungai yang dikontrol oleh jenis batuannya (Howard,
1967).


2.1.1.2      Stadia Sungai


Stadia
sungai di daerah penelitian memperlihatkan stadia sungai muda dan tua
. Stadia sungai muda di
daerah penelitian meliputi cabang Kali Lesti, Kali Kampungbaru, dan Kali
Bangbang. Stadia sungai muda berada pada cabang Kali Lesti dengan lebar sungai ±3meter
dicirikan dengan sungai yang aktif dan erosi berlangsung lebih cepat, erosi
vertikal lebih besar daripada erosi lateral, sisi tepi sungai curam, tidak
terdapat dataran banjir, kemiringan sungai curam, bentuk sungai relatif lurus
dan kenampakan batuan dasar
(Gambar
2.10).
















Stadia sungai tua berada pada Kali Genteng dengan
lebar sungai
±10
meter, kemiringan lereng yang rendah bahkan datar, dengan kecepatan aliran
rendah, jenis aliran air adalah laminar, proses yang bekerja berupa deposisi
atau terdapatnya gosong sungai (Gambar 2.11), bentuk atau pola sungai meander
(Gambar 2.12), dengan bentuk penampang atau lembah “U” sampai datar

(Gambar
2.13).





Gambar 2.10   Stadia
sungai muda, lembah sungai membentuk huruf “V” dengan tebing curam dan nampak
batuan dasar (foto diambil dari LP 01 lensa menghadap ke utara).






Gambar 2.11   Gosong pada Kali
Genteng (foto diambil dari LP 83 lensa menghadap ke barat). 






Gambar 2.12   Gosong
pada Kali Genteng (foto diambil dari LP 75 lensa menghadap ke timur). 






Gambar 2. 13  Stadia
sungai tua, lembah sungai membentuk huruf “U” (foto diambil dari LP 75 lensa
menghadap ke barat).



2.1.1.1      Proses Geomorfologi


Morfogenesis adalah suatu urutan kejadian dan interaksi antara satuan
bentang alam yang ada pada suatu daerah serta proses – proses geologi (proses
endogenik dan proses eksogenik) yang mengontrolnya (Thonbury, 1969). Proses –
proses endogenik (asal dalam) tersebut meliputi aktivitas vulkanisme dan
tektonik serta proses eksogenik (asal luar) seperti pelapukan, erosi dan
sedimentasi.


Proses geomorfologi adalah semua proses fisika, kimia dan
biologi yang mengakibatkan perubahan pada bentuk bumi.
Proses fisika ada yang berasal dari dalam bumi (seperti
penerobosan batuan beku, dan deformasi tektonik pada kerak bumi) dan yang
berasal dari luar bumi (seperti penyinaran oleh matahari, hujan, salju dan juga
jatuhan meteorit ke permukaan bumi).
Proses kimia seperti proses
pembentukan topografi karst yang melibatkan berbagai proses kimiawi
. Proses biologi seperti aktifitas hewan dan akar tumbuhan.


Media geomorfologi
mempunyai kemampuan untuk memperoleh dan mengangkut material lepas di permukaan
bumi. Jika media berasal dari luar bumi, tetapi masih dalam lingkungan
atmosfir, disebut proses eksogen. Jika media berasal dari dalam bumi, disebut
proses endogen. Media yang datang dari 
luar bumi seperti met
eorit, disebut proses luar bumi (extraterestrial).


Bentuklahan
dari proses geomorfologi dapat berupa bentuklahan hasil (yang bersifat)
membangun (constructional landform)
atau bentuklahan hasil (yang bersifat) merusak (detructional landform). Proses dan media dapat menghasilkan
bentuklahan berbeda di
satu
kawasan dengan kawasan lainnya, contoh : erosi oleh aliran sungai menghasilkan
lembah (pengrusakan) dan juga dapat mewujudkan delta (membangun).


















Gambar 2.14   A.
Bukti intensif proses eksogenik tingkat menengah, tampak breksi andesit skoria
yang telah lapuk dengan intensitas pelapukan tinggi pada matrik. B. fragmen
andesit skoria (foto diambil dari LP 60 dengan lensa menghadap ke utara).






Gambar 2.15   Bukti
intensif proses eksogenik berupa soil tebal, pelapukan berasal dari batupasir (foto
diambil dari LP 27 lensa menghadap ke barat).



Topografi
karst dibentuk oleh proses berupa endokarst dan eksokarst dimana hasil untuk
proses endokarst berupa
stalaktit
denan tipe
flowstone (Gambar 2.16)
dan hasil dari proses eksokarst berupa lubang – lubang dipermukaan batuan
akibat proses eksokarst berupa
lapies (Gambar
2.17)
. Proses fluvial yang
menghasilkan endapan berukuran pasir sampai bongkah (Gambar 2.18).





Gambar 2.16   Bukti proses endokarst berupa stalaktit dengan
tipe flowstone (foto diambil dari LP 69 lensa menghadap ke barat).






Gambar 2.17   Bukti proses eksokarst berupa lapies (foto diambil dari LP 76 lensa
menghadap ke selatan). 






Gambar 2.18   Bukti
proses fluvial keterdapatan endapan berukuran pasir sampai bongkah (foto
diambil dari LP 01 dengan lensa menghadap ke barat). 



2.1.1.1      Stadia Daerah


Perkembangan
stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi
daerah telah berubah dari
morfologi aslinya. Tingkat kedewasaan daerah atau stadia daerah dapat
ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan kondisi sungai
, serta kontrol struktur geologi
yang terdapat di daerah tersebut. Stadia daerah penelitian dikontrol oleh
litologi, struktur geologi dan morfologi

(proses)
baik proses endogen maupun proses
eksogen.








Perkembangan
stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah
berubah dari morfologi aslinya. Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dapat
dikelompokkan menjadi empat, yaitu muda, dewasa, tua dan peremajaan ulang (rejuvena
tion). Kondisi bentang alam di
daerah penelitian secara dominan telah dipengaruhi oleh proses eksogenik yang
sangat intensif, sehingga memperlihatkan adanya soil
/ tanah
yang tebal dan pelapukan yang intensif
(Gambar 2.19).





Gambar 2.19 Soil tebal (foto diambil dari LP
32 lensa menghadap ke utara).



Berdasarkan hasil perbandingan terhadap
model tingkat stadia menurut Lobeck (1939) dengan data yang ditemukan
dilapangan berupa pelapukan yang intensif, soil tebal dan stadia sungai di
daerah penelitian berupa stadia sungai muda yaitu erosi vertikal lebih besar
daripada erosi horisontal dan sungai mengalir pada batuan dasar (Gambar 2.10)
dan stadia sungai tua yaitu erosi horisontal lebih besar daripada erosi
vertikal dengan lembar huruf “U” dan sudah ditemukan adanya
meander – meander ­sungai  (Gambar 2.11 – 2.13), maka dapat disimpulkan
secara umum stadia daerah penelitian termasuk dalam stadia dewasa (Gambar 2.20).
Penggolongan stadia daerah ini sebagai data yang digunakan untuk membantu
peneliti dalam menginterpretasi lebih jauh terhadap aspek-aspek geologi yang
ada di daerah penelitian, hal ini dikarenakan masing - masing tingkatan dalam
stadia daerah dikontrol oleh proses - proses geologi seperti litologi dan
struktur geologi yang beragam yaitu lipatan berupa antiklin, sesar mendatar mengkiri
dan sesar mendatar mengkanan.





Gambar 2.20 Stadia daerah penelitian
(Lobeck, 1939)



  2.1           
Stratigrafi


Stratigrafi regional
daerah penelitian berdasarkan peneliti terdahulu Sujanto, dkk (1992) pada Peta
Geologi Regional Lembar Turen termasuk kedalam Formasi Mandalika yang berumur
Oligosen Akhir sampai Miosen Awal, Formasi Wuni yang berumur Miosen Tengah,
Formasi Nampol yang berumur Miosen Tengah – Miosen Akhir, Formasi Wonosari yang
berumur Miosen Akhir sampai Pliosen dan terakhir Endapan Aluvial yang berumur
Kuarter. Peneliti memasukan batuan karbonat kedalam Formasi Punung, dilihat
dari variasi litologinya dan keterdapatanya pada Zona Fisiografi Pegunungan
Selatan Jawa Timur menurut Sartono (1964) dan Nahrowi (1979). Tatanan
stratigrafi daerah penelitian
mengacu pada Martodjojo dan Djuhaeni (1996) berdasarkan litostratigrafi tidak resmi. Penamaan satuan batuan didasarkan pada litologi yang dominan pada setiap
penyusun satuan dan diikuti dengan nama formasinya. Penentuan umur relatif
menggunakan korelasi dari analisis fosil oleh peneliti dan kesebandingan dari
peneliti terdahulu
Sartono (1964), Nahrowi (1979) dan
Sujanto
, dkk. (1992).


2.1.1          
Stratigrafi
Regional


Peneliti menggunakan 2 data sekunder dari peneliti terdahulu untuk
menjadi acua dalam melakukan penelitian. Dua data sekunder tersebuta adalah
Peta Geologi Lembar Turen (Sujanto, dkk,.1992) dan data peneliti terdahulu
tentang Pegunungan Selatan Jawa Timur menurut Sartono (1964) dan
Nahrowi (1979).


2.1.1.1      Peta Geologi Lembar Turen


Lokasi daerah penelitian berada pada Desa Sumbermanjing
Wetan dan sekitarnya, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa
Timur yang sebelumnya pernah dipetakan oleh Sujanto, dkk. (1992). Berdasarkan
Peta Geologi Lembar Turen (Sujanto, dkk., 1992) daerah penelitian mencakup lima
formasi (Gambar 3.2) yang berurut dari tua ke muda, yaitu Formasi Mandalika,
Formasi Wuni, Formasi Nampol, Formasi Wonosari, dan Endapan Tuf Gunung Api.
Tatanan stratigrafi regional (Gambar 3.3) menurut Sujanto, dkk (1992)
menunjukan bahwa formasi tertua berumur Oligosen Akhir yaitu Formasi Mandalika,
diatasnya diendapkan secara tidak selaras Formasi Wuni yang berumur Miosen
Tengah, sacara menjari selaras diendapkan Formasi Nampol yang berumur sama,
diatasnya diendapkan Formasi Wonosari berumur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir
dan secara tidak selaras diatasnya diendapkan formasi yang termuda   yaitu Formasi Endapan Tuf Gunung Api berumur
Kuarter.





Gambar 2.21   Peta
geologi regional daerah penelitian dalam Peta Geologi Lembar Turen (Sujanto,
dkk., 1992)





Tabel 2.1      Kolom stratigrafi
regional daerah penelitian dalam Peta Geologi Lembar Turen (Sujanto, dkk.,
1992)







2.1.1.1.1     Formasi
Mandalika
(Tomm)


Formasi Mandalika terdiri dari lava andesit, basal,
dasit, breksi andesit dan tuf. Lava andesit terdiri dari andesit piroksen,
andesit hornblenda, yang disebagian tempat mengalami ubahan hidrotermal berupa
kaolin. Lava basal umumnya terdiri dari basal piroksen berstruktur amigdaloidal
yang rongga – rongganya diisi oleh mineral – mineral sekunder kalsit dan
zeolit. Lava dasit yang banyak dijumpai mineral –mineral pirit serta leleran –
leleran oksida besi. Breksi andesit mempunyai fragmen andesit dengan tektur
skoria. Formasi Mandalika berumur Oligosen Akhir hingga awal Miosen Tengah.


2.1.1.1.2     Formasi
Wuni (Tmw)










Formasi Wuni terdiri dari breksi, lava bersusun andesit
basal, breksi tuf, breksi lahar, dan tuf pasiran.  Breksi berkomponen andesit dan basal,
mengandung kepingan – kepingan kalsedon, tuf terkersikan berukuran garis tengah
sampai 10 cm dengan masa dasar batupasir tufan yang pejal. Setempat batupasir
tersebut menebal dan merupakan sisipan didalam breksi dan menunjukan
perlapisan, dibeberapa tempat batupasir tersebut banyak mengandung batuapung
dan dibeebrapa tempat bercampur dengan breksi tuf, aglomerat dan breksi
batuapung. Lava andesit – basal terdiri dari andesit piroksen sampai basal.
Breksi lahar menempati dasar – dasar sungai, setempat dijumpai kepingan -  kepingan atau bongkahan – bongkahan andesit
dan kayu terkersikan. Formasi Wuni berumur Miosen Tengah, formasi ini menindih
tidak selaras dari formasi mandalika, dan menjemari dengan Formasi Nampol.


2.1.1.1.1     Formasi
Nampol (Tmn)


Formasi Nampol terdiri dari batupasir tufan, batulempung,
napal pasiran, batupasir gampingan, dan batulempung hitam. Batupasir tufan
terdapat sisipan konglomerat berukuran kerakal dan lignit tipis, selain
mengandung sisipan lignit, dijumpai pula kristal – kristal pirit kuning
mengkilat. Batulempung dan napal pasiran terdapat menutupi batupasir tufan
dengan bongkah batugamping, bagian atas ditutupi oleh batupasir. Batupasir
gampingan kompak dan mempunyai struktur perlapisan yang baik. Batulempung hitam
terdapat berupa lapisan tipis dan dibeberapa tempat bercampur dengan lapisan
lignit. Dibagian atas Formasi Nampol ditempati oleh batupasir mengandung
kuarsa, mempunyai struktur silang siur yang diatasnya ditutupi batugamping
terumbu Formasi Wonosari. Setempat Formasi Nampol menjemari dengan bagian bawah
Formasi Wonosari. Formasi Nampol berumur Miosen tengah sampai Miosen Akhir.


2.1.1.1.2     Formasi
Wonosari (Tmwl)


Formasi Wonosari terdiri dari batugamping, napal pasiran,
dan sisipan batulempung kebiruan. Batugamping umunya terdiri dari batugamping
terumbu, batugamping kristalin dan batugamping pasiran, sebagian pejal sebagian
berlapis. Pada beberapa batugamping dijumpai fosil foraminifera, koral, brachiopoda, gastropoda dan moluska.
Batuan ini ke arah atas berangsur – angsur berubah menjadi batugamping berlapis
yang kaya aka foraminifera, dan batugamping terumbu yang pejal yang membentuk
topografi karst. Fosil – fosil yang dikenali dalam formasi ini adalah Lepidocyclina Sumatrensis BRADY, Miogypsina spp, Flosculina sp, Operculina sp,
Marginopora sp, Globigerinoides spp, Globiquadrina
sp, Amphitegina sp, dan Operculina sp, yang menunjukan kisaran
umur dari Miosen Awal sampai Miosen Tengah.





2.1.1.1.3     Endapan
Tuf Gunung Api (Qptm)


Terdiri dari tuf kasar berbatuapung, dan fragmen andesit.
Tuf berbutir kasar (lapili) hingga halus, mengandung feldspar, kuarsa, mineral
mafic batuapung dan fragmen – fragmen andesit. Fragmen – fragmen andesit
tersebut berasal dari proses lahar. Endapan tuf gunung api ini dihasilkan oleh
kelompok gunung api kuarter muda, diantaranya Gunung Tengger, Gunung Jembangan,
Gunung Semeru, Gunung Butak, dan Gunung Buring.


2.1.1.2      Stratigrafi Pegunungan Selatan
Jawa Timur




















Menurut Sartono (1964) dan Nahrowi (1979) Stratigrafi Pegunungan Selatan
di Jawa Timur (Tabel 2.2), dengan daerah telitian di daerah Punung dan
sekitarnya- Pacitan.




Tabel 2.2    Kolom
s
tratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur beberapa
peneliti
(1964).







Susunan litostratigrafinya sebagai berikut (dari tua ke muda): Kelompok
Formasi Besole, Formasi Jaten, Formasi Nampol dan Formasi Punung.


2.1.1.1.1     Formasi Besole


Merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah ini. Sartono
(1964), pencetus nama Formasi Besole menyebutkan bahwa satuan ini tersusun oleh
dasit, tonalit, tuf dasitan, serta andesit, dimana satuan ini diendapkan di
lingkungan darat. Nahrowi dkk (1978), dengan menggunakan satuan batuan bernama
Formasi Besole, menyebutkan bahwa formasi ini tersusun oleh perulangan breksi
volkanik, batupasir, tuf, dan lava bantal, diendapkan dengan mekanisme
turbidangit, pada lingkungan laut dalam. Samodaria dkk (1989 & 1991)
membagi satuan yang bernama Formasi Besole ini menjadi dua satuan yaitu Formasi
Arjosari yang terdiri dari perselingan batupasir dan breksi, yang diendapkan
pada lingkungan laut dangkal, dan Formasi Mandalika yang tersusun oleh
perselingan breksi, batupasir, serta lava bantal diendapkan pada lingkungan
laut dalam. Terlepas dari perbedaan litologi, dan lingkungan pengendapan pada
satuan yang bernama Formasi Besole ini, mempunyai penyebaran menempati
morfologi terjal, dan berbukit-bukit. Oleh Sartono (1964), satuan ini merupakan
bagian dari kelompok batuan Old Andesit (van Bemmelen, 1949), seperti halnya
yang terdapat di Kulon Progo. Jadi secara umum Formasi Besole tersusun oleh
satuan batuan volkanik (intrusi), lava dan volkanoklastik (breksi, sisipan
batupasir tufan). Djohor, 1993 meneliti singkapan di K.
Grindulu (Pacitan-Tegalombo) menyimpulkan urutan
Formasi Besole yang tersingkap di daerah tersebut adalah sebagaiberikut: bagian
bawah terdiri dari breksi volkanik (pyroclastic), batupasir tufan (greywacke),
sisipan crystal tuf, dan dibeberapa tempat dijumpai intrusi (korok dasit).
Bagian tengah tersusun oleh lava dasitik, tuf dasitik, breksi volkanik,
batupasir volkanik, dan sisipan lava basaltik dengann kekar-kekar kolom, dibeberapa
tempat dijumpai intrusi korok berkomposisi basaltis, dan dasitik. Bagian atas
didominasi oleh batn volkanoklastik (perulangan konglomerat, batupasir tufan,
tuf, dengan sisipan breksi dan batulempung). Didapat intrusi berupa volcanic
neck berkomposisi andesitik. Juga dijumpai sisipan tipis batulempung gampingan
yang mengandung foraminifera planktonik serta bongkah batu-gamping berukuran
mencapai ±1 m didalam tubuh tuf. Secara tidak selaras di atasnya terdapat
Formasi Jaten.


2.1.1.1.2     Formasi Jaten


Dengan lokasi tipenya K. Jaten –
Donorojo, Pacitan (Sartono 1964), tersusun oleh konglomerat, batupasir kuarsa,
batulempung (mengandung fosil Gastrophoda, Pelecypoda, Coral, Bryozoa,
Foraminifera), dengan sisipan tipis lignit. Ketebalan satuan ini mencapai
20-150 m. Diendapkan pada lingkungan transisi – neritik tepi pada Kala Miosen
Tengah (N9 – N10).


2.1.1.1.3     Formasi Wuni


Dengan lokasi tipenya K. Wuni (anak Sungai S Basoka) – Punung, Pacitan
(Sartono, 1964), tersusun oleh breksi, aglomerat, batupasir tufan, lanau, dan
batugamping. Berdasarkan fauna koral satuan ini berumur Miosen Bawah (Te.5
–Tf.1), berdasarkan hadirnya Globorotalia siakensis, Globigerinoides trilobus
& Globigerina praebuloides berumur Miosen Tengah (N9-N12) (Tim Lemigas).
Ketebalan Formasi Wuni = 150 -200 m. Satuan ini terletak selaras menutupi
Formasi Jaten, dan selaras di bawah Formasi Nampol.


2.1.1.1.4     Formasi Nampol


Tersingkap baik di K. Nampol,
Kec Punung, Pacitan (Sartono,1964), dengann susunan batuan sebagai berikut:
bagian bawah terdiri dari konglomerat, batupasir tufan, dan bagian atas:
terdiri dari perselingan batulanau, batupasir tufan, dan sisipan serpih
karbonan dan lapisan lignit. Diendapkan pada Kala Miosen Awal (Sartono,1964)
atau Nahrowi (1979), Pringgoprawiro (1985), Samodaria & Gafoer (1990)
menghitungnya berumuri Miosen Awal – Miosen Tengah. Ketiga formasi (Jaten,
Wuni, Nampol) berhu-bungan jari-jemari dengan bagian bawah Formasi Punung.


2.1.1.1.5     Formasi Punung


Dengan lokasi tipenya di daerah Punung, Pacitan,
tersusun oleh dua litofasies yaitu: fasies klastika dan fasies kar-bonat
(Sartono, 1964). Fasies karbonat, tersusun oleh batu-gamping terumbu,
batugamping bioklastik, batugamping pasiran, napal, dimana satuan ini merupakan
endapan sistim karbonat paparan. Ketebalan fasies ini 200-300 m, berumur Miosen
Tengah-Atas (N9-N16). Sedangkan fasies klastika tersusun oleh perselingan
batupasir tufan, batupasir gampingan, lanau dan serpih. Ketebalan satuan ini 76
-230 m. Berdasarkan kandungan fosil foram menunjukan umur Miosen Tengah (N15),
diendapkan pada lingkungan nertitik tepi. Hubungan dengan fasies karbonat
adalah menjari, dan kedua satuan fasies ini menutupi secara tidak selaras
Formasi Nampol (Sartono, 1964). Sedangkan menurut Nahrowi (1979),
Pringgoprawiro (1985) Formasi Punung menutui secara tidak selaras Formasi
Besole, dengan saling menjari dengan Formasi Jaten, Wuni, dan Nampol.


2.1.2          
Stratigrafi
Daerah Penelitian


Stratigrafi daerah
penelitian dibagi menjadi enam satuan batuan tidak resmi berdasarkan
litostratigrafi SSI (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), berurutan dari satuan
batuan tertua ke satuan batuan termuda adalah satuan breksi andesit skoria
Mandalika secara tidak selaras diatasnya ditumpangi satuan breksi andesit Wuni,
secara tidak selaras diatasnya diendapkan kalkarenit Punung dan secara selaras
menjari diendapkan batugamping terumbu Punung, diatasnya diendapkan satuan
termuda endapan berukuran pasir – bongkah dengan material lepas andesit dan
batugamping.
Penentuan umur relatif
menggunakan korelasi dari analisis fosil oleh peneliti dan kesebandingan dari
peneliti terdahulu
Sartono (1964), Nahrowi (1979) dan
Sujanto
, dkk. (1992).


2.1.2.1     
Satuan
Breksi Andesit Skoria Mandalika


Satuan batuan ini merupakan satuan batuan yang
tersusun oleh litologi berupa breksi andesit skoria dengan sisipan batupasir
kasar. Berdasarkan ciri fisik batuan dapat dikorelasikan dengan Formasi Mandalika
pada Peta Geologi Lembar Turen (Sujanto, dkk., 1992) dan berdasarkan litostratigrafi
dalam SSI (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), maka satuan ini diberi nama satuan
breksi andesit skoria Mandalika.


2.1.2.1.1     Penyebaran dan Ketebalan


Satuan ini menempati 14,32% dari daerah penelitian. Satuan ini
menempati satuan geomorfologi perbukitan – tersayat kuat denudasional (D3). Pelamparan
satuan ini berada disebelah tenggara dari daerah penelitian dengan wilayah
meliputi Desa Ringin Kembar, Tegalrejo dan Sekarbanyu. Berdasarkan pengukuran
yang dilakukan pada penampang C – D, diketahui ketebalan dari satuan ini adalah
>755 m.


 2.1.2.1.2     Litologi Penyusun












































Litologi penyusun satuan breksi andesit skoria Mandalika terdri dari
breksi andesit skoria dengan sisipan batupasir kasar. Litologi penyusun dari
satuan ini digambarkan melalui tabel kolom litologi satuan breksi andesit
skoria Mandalika (Tabel 2.3) batuan penyusun akan dijelaskan pada sub bab – sub
bab berikutnya pada sub bab – sub bab berikutnya.






Tabel 2.3 Kolom litologi satuan
breksi andesit skoria Mandalika (tanpa skala)












2.1.1.1.1.1       Breksi Andesit Skoria


Breksi andesit skoria secara megaskopis mempunyai warna segar abu-abu
kehitaman, warna lapuk coklat, tekstur klastik, dengan bentuk butir membulat
tanggung - meruncing, ukuran butir kerakal - bongkah, kemas terbuka, sortasi
buruk, struktur massif dan dibeberapa tempat menunjukan kesan berlapis, fragmen
andesit dengan deskripsi warna segar abu - abu kehitaman, tekstur
hipokristalin, porfiritik, struktur skoria, matrik breksi andesit skoria berupa
batupasir sedang, dan semen silika (Gambar 2.22).








Secara mikroskopis diwakili oleh sayatan LP 59 (Lampiran petrografi hal
205 - 209) dengan kode sayatan LP59 F untuk fragmen dan LP 59 M untuk matrik,
sayatan tipis breksi adesit skoria, dibagi menjadi 2 yaitu bagian fragmen
breksi andesit skoria berupa andesit skoria dan matrik breksi andesit skoria
berupa batupasir sedang. Fragmen andesit skoria secara mikroskopis berwarna coklat
kehitaman, tekstur batuan hipokristalin, subhedral, inequigranular
dengan tekstur khusus porfiritik dan tekstur lain berupa skoria. Komposisi
batuan ini terdiri dari fenokris dan masa dasar. Fenokris terdiri dari
plagioklas 78% (andesine dan bytownite), piroksen 12%, dan quarzt 2% serta masa
dasar terdiri dari kristal dan gelas 8% dengan nama petrografi andesit piroksen (Streckeisen,
1976). Matrik breksi andesit skoria yaitu batupasir, secara mikroskopsis
berwarna coklat, Tekstur batuan dengan ukuran butir 0.075 - 0.2 mm, kemas
terbuka, dan sortasi buruk. Komposisi matrik 30%, plagioklas 20% (andesine),
clinopiroksen 5%, hornblende 6%, dan opak 
6%, dan lithik 33% dengan nama petrografi lithic wacke (Petijohn, 1975).





Gambar 2.22   A. Breksi andesit skoria, B. Fragmen andesit
skoria (foto diambil dari LP 59 dengan lensa menghadap ke selatan).



2.1.1.1.1.1       Batupasir Kasar


 Batupasir kasar secara
megaskopis mempunyai warna segar abu - abu, warna lapuk coklat, tekstur klastik
bentuk butir membulat ukuran butir pasir sedang - pasir kasar, sortasi baik,
kemas tertutup, struktur berlapis, komposisi lithik, dan kuarsa (Gambar 2.23).


Secara mikroskopis diwakili oleh sayatan LP 60 (Lampiran
petrografi hal 210 - 211) dengan kode sayatan LP 60. Batupasir kasar secara
mikroskopis memiliki warna abu - abu kecoklatan, tekstur batuan dengan ukuran
butir 0.075 - 0.2 mm, kemas tertutup, dan sortasi buruk, komposisi mineral
plagioklas (oligoklas)14%, lithik 30% dan matrik 57% dengan nama petrografi
lithic wacke (Petijohn, 1975).





Gambar 2.23 Batupasir kasar (foto diambil
dari LP 60 dengan menghadap ke selatan).



2.1.1.1.1     Penentuan Umur


Pada satuan breksi andesit skoria Mandalika ini penentuan umur
dilakukan dengan menganalisis mikropaleontologi pada litologi berupa batupasir
pada LP 60, akan tetapi tidak diketemukanya fosil foraminifera plangtonik (barren
intervals
) untuk penentuan umurnya. Dengan tidak diketemukannya fosil foraminifera
plangtonik maka penentuan umur dilakukan dengan melakukan kesebandingan dengan
stratigrafi regional ataupun mengacu pada peneliti terdahulu yang membahas
formasi pada daerah penelitian. Satuan breksi andesit skoria Mandalika yang
dapat dikesebandingkan dengan Formasi Mandalika yang mengacu pada Peta Geologi
Regional Lembar Turen (Sujanto, dkk., 1992) maka dapat ditarik kesimpulan umur satuan
ini adalah Oligosen Awal sampai awal Oligosen Akhir.


2.1.1.1.2     Lingkungan Pengendapan


Penentuan lingkungan pengendapan satuan breksi andesit skoria dilakukan
berdasarkan data – data lapangan, hal ini dikarenakan satuan batuan ini
tersusun oleh batuan sedimen fraksi kasar dan dengan fragmen berupa batuan beku
andesit skoria yang miskin akan kehadiran fosil foraminifera kecil khususnya
foraminifera bentonik yang sangat menentukan lingkungan pengendapan pada daerah
penelitian. Dengan indikasi tidak adanya fosil foraminifera kecil serta tidak
mengandung komposisi karbonatan (tidak bereaksi dengan HCl). Maka penentuan
lingkungan pengendapan satuan breksi andesit skoria Mandalika didasarkan pada
peneliti terdahulu yaitu berada pada lingkungan darat (Sujanto, dkk., 1992).


2.1.1.1.3     Hubungan Stratigrafi


Hubungan satuan breksi andesit skoria Mandalika ini dengan satuan
dibawahnya tidak diketahui karena tidak tersingkap di lokasi penelitian,
sedangkan untuk hubungan stratigrafi dengan satuan diatasnya satuan breksi
andesit Wuni yaitu tidak selaras. Hal ini didasarkan pada Peta Geologi Lembar
Turen (Sujanto, dkk., 1996) dan stratigrafi pegunungan selatan jawa timur
(Nahrowi, 1979). karena umur satuan breksi andesit skoria Mandalika mempunya
kisaran umur Oligosen Akhir sedangkan satuan breksi andesit Wuni diatasnya
berumur Miosen Tengah menandakan adanya kesenjangan waktu.


2.1.1.2      Satuan Breksi Andesit Wuni


Satuan batuan ini merupakan satuan batuan yang
tersusun oleh litologi berupa breksi andesit. Berdasarkan ciri fisik batuan
dapat dikesebandingkan dengan Formasi Wuni pada Peta Geologi Lembar Turen
(Sujanto, dkk., 1992) maupun stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur
(Nahrowi, 1979) dan berdasarkan litostratigrafi dalam Sandi Stratigrafi Indonesia
(Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), maka satuan ini diberi nama satuan breksi
andesit Wuni.


2.1.1.2.1     Penyebaran dan Ketebalan


Satuan ini menempati 6,43% dari daerah penelitian. Satuan breksi
andesit Wuni menempati satuan geomorfologi bergelombang lemah – bergelombang
kuat denudasional dengan kode D5 dan D7. Pelamparan satuan batuan ini berada
disebelah tenggara dari daerah penelitian dengan wilayah meliputi Desa
Sumbersuko. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada penampang A – B,
diketahui ketebalan dari satuan ini adalah ± 457,5 m.


2.1.1.2.2     Litologi Penyusun


























Litologi penyusun satuan breksi andesit Wuni terdiri dari breksi
andesit (Tabel 2.4). Litologi penyusun dari satuan ini digambarkan melalui
tabel kolom litologi satuan breksi andesit skoria Mandalika (Tabel 2.3) batuan
penyusun akan dijelaskan pada sub bab – sub bab berikutnya pada sub bab – sub
bab berikutnya.


Tabel 2.4 Kolom litologi satuan
breksi andesit Wuni (tanpa skala)







2.1.1.1.1.1       Breksi Andesit


Breksi andesit secara megaskopsis mempunyai warna segar abu-abu
kehitaman, warna lapuk coklat kehitaman, tekstur klastik, dengan bentuk butir
membulat tanggung - meruncing, ukuran butir kerakal - bongkah, kemas terbuka,
sortasi buruk, struktur masif, fragmen andesit dengan deskripsi warna segar abu
- abu kehitaman, warna lapuk coklat struktur masif dan pelapukan mengulit
bawang, tekstur hipokristalin, porfiritik dan matrik dari breksi andesit berupa
tuf, semen silisika (Gambar 2.24).








Secara mikroskopis diwakili oleh sayatan LP 75 (Lampiran petrografi hal
212 - 216) dengan kode sayatan LP75 F untuk fragmen dan LP75 M untuk matrik,
sayatan tipis breksi adesi, dibagi menjadi 2 yaitu bagian fragmen breksi
andesit berupa andesit dan matrik breksi andesit berupa tuf. Fragmen andesit
secara mikroskopsis memiliki warna coklat kehitaman, tekstur batuan ini
hipokristalin, subhedral, inequigranular dengan tekstur khusus porfiritik.
Komposisi batuan ini terdiri dari fenokris dan masa dasar. Fenokris terdiri
dari plagioklas 84% (andesine, bytownite), piroksen 7%, dan quarzt 2% serta
masa dasar terdiri dari kristal dan gelas 7% dengan nama petrografi andesit piroksen (Streckeisen,
1976). Matriks tuf secara mikroskopis memiliki warna coklat, tekstur batuan
dengan ukuran butir 0.075 - 0.2 mm, kemas terbuka, dan sortasi buruk, komposisi
gelas 85%, kristal 13% (andesine, oligoklas, piroksen), dan lithik 2% dengan
nama petrografi vitric tuf
(Schmidt, 1962).





Gambar 2.24   A.
Breksi andesit Wuni, B. Struktur mengulit bawang pada fragmen andesit (foto diambil dari LP 75 lensa menghadap ke
utara).



2.1.1.1.1     Penentuan Umur


Pada satuan breksi andesit Wuni ini penentuan umur tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan analisis mikropaleontologi karena pada satuan ini
tidak dijumpai adanya batuan dengan fraksi halus dan batuan penyusun satuan
breksi andesit Wuni ini merupakan batuan produk dari gunungapi. Oleh karena itu
penentuan umur dilakukan dengan melakukan kesebandingan dengan stratigrafi
regional ataupun mengacu pada peneliti terdahulu yang membahas formasi pada
daerah penelitian. Satuan breksi andesit Wuni yang dapat dikesebandingkan
dengan Formasi Wuni yang mengacu pada Peta Geologi Regional Lembar Turen
(Sujanto, dkk., 1992) maka dapat ditarik kesimpulan umur satuan ini adalah awal
Miosen Awal.


2.1.1.1.2     Lingkungan Pengendapan


Penentuan lingkungan pengendapan satuan breksi andesit skoria dilakukan
berdasarkan data – data lapangan, hal ini dikarenakan satuan batuan ini
tersusun oleh batuan gunungapi yang tidak adanya kehadiran fosil foraminifera
kecil khususnya foraminifera bentonik yang sangat menentukan lingkungan
pengendapan pada daerah penelitian. Dengan indikasi tidak adanya fosil
foraminifera kecil serta tidak mengandung komposisi karbonatan (tidak bereaksi
dengan HCl). Maka penentuan lingkungan pengendapan satuan breksi andesit Wuni
didasarkan pada peneliti terdahulu yaitu berada pada lingkungan darat (Sujanto,
dkk., 1992).


2.1.1.1.3     Hubungan Stratigrafi


Hubungan satuan breksi andesit Wuni ini dengan satuan dibawahnya satuan
breksi andesit skoria Mandalika yaitu tidak selaras, serta untuk satuan
diatasnya satuan batupasir Nampol yaitu selaras menjari. Hal ini didasarkan
karena umur satuan breksi andesit skoria Mandalika mempunya kisaran umur Oligosen
Awal sampai awal Oligosen Akhir sedangkan satuan breksi andesit Wuni berumur Miosen
Awal sampai awal Miosen Tengah menandakan adanya kesenjangan waktu, tidak ada
bukti geologi pada kala akhir Oligosen Akhir.


Hubungan stratigrafi antara breksi andesit Wuni dengan batupasir Nampol
adalah tidak selaras dikarenakan berdasarkan data penyebaran batuan yang
dilihat dari data jurus dan kemiringan batuan pada satuan batupasir Nampol.
Jika menggunakan jurus dan kemiringan batuan, seharusnya satuan breksi andesit
Wuni ini berumur lebih muda akan tetapi melihat dari fisik batuannya yang
termasuk dalam Formasi Wuni berarti mengindikasikan umur lebih tua dari pada
satuan batupasir Nampol  Sujanto, dkk., (1992)
dan Nahrowi (1979), sehingga menjadikan hubungan antara satuan breksi andesit
Wuni dan satuan batupasir Nampol adalah tidak selaras.


2.1.1.2      Satuan Batupasir Nampol


Satuan batuan ini merupakan satuan batuan yang
tersusun oleh litologi berupa batupasir dan tuf. Berdasarkan ciri fisik batuan
dapat dikorelasikan dengan Formasi Nampol pada Peta Geologi Lembar Turen
(Sujanto, dkk., 1992) dan berdasarkan litostratigrafi dalam SSI (Martodjojo dan
Djuhaeni, 1996), maka satuan ini diberi nama satuan batupasir Nampol.


2.1.1.2.1    
Penyebaran
dan Ketebalan


Satuan ini menempati 25,42% dari daerah penelitian.
Satuan batupasir Nampol menempati satuan geomorfologi bergelombang lemah
denudasional. Satuan batuan ini pelamparannya berada disebelah tengah dari
daerah penelitian dengan wilayah meliputi Desa Harjokuncaran, Sumbermanjing
Wetan, Argotirto dan Ringinsari. Daerah ini termasuk daerah dengan intensitas
proses eksogen yang tinggi ditandai dengan adanya pelapukan batuan yang tinggi.
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada penampang A – B, diketahui ketebalan
dari satuan ini adalah ±235,75 m.


2.1.1.2.2     Litologi Penyusun




























Litologi penyusun satuan batupasir Nampol terdri dari tuf dan batupasir
(Tabel 2.5), batuan penyusun akan dijelaskan pada sub bab – sub bab berikutnya.




Tabel 2.5 Kolom litologi satuan batupasir
Nampol (tanpa skala).







2.1.1.1.1.1      
Batupasir


Batupasir secara megaskopis mempunyai warna segar
kuning kecoklatan, warna lapuk coklat, struktur berlapis, tekstur klastik,
bentuk butir membulat ukuran butir pasir halus -pasir sedang, sortasi baik,
kemas tertutup, komposisi lithik, dan kuarsa (Gambar 2.25). Secara mikroskopis
batupasir diwakili oleh sayatan LP 41 (Lampiran petrografi hal 217 - 218)
dengan kode sayatan LP 41, memiliki warna abu - abu kecoklatan, dengan ukuran
butir 0.075 - 0.2 mm, kemas tertutup, dan sortasi buruk komposisi lithik 64%,
kuarsa 20%, matriks 10% dan feldspar 6% dengan nama petrografi
lithic wacke (Petijohn, 1975).





Gambar 2.25 Batupasir dari satuan batupasi
Nampol (foto diambil dari LP 26 lensa menghadap ke barat).



2.1.1.1.1.1      
Tuf


Tuf secara megaskopis warna lapuk coklat kehitaman,
struktur berlapis, tekstur klastik, bentuk butir membulat, ukuran butir pasir
halus - pasir kasar, sortasi baik, kemas tertutup, komposisi lithik dan mineral
gelas (Gambar 2.26).





Gambar 2.26   Tuf
dari satuan batupasi Nampol (foto diambil dari LP 44 lensa menghadap ke
selatan).






Secara mikroskopis tuf diwakili oleh sayatan LP 44
(Lampiran petrografi hal 219 - 220) dengan kode sayatan LP 44, memiliki warna
abu - abu kecoklatan. Tekstur batuan dengan ukuran butir 0.075 - 0.2 mm, kemas
terbuka, dan sortasi buruk. Lithik 70%, gelas 20% dan  kristal 10% (piroksen, kuarsa, dan opak),
dengan nama petrografi lithic tuff  (Schmidt, 1962).


2.1.1.1.1     Penentuan Umur


Pada satuan batupasir Nampol ini penentuan umur dilakukan dengan
menggunakan analisis mikropaleontologi, karena penyusun satuan batuan ini
adalah batupasir dan tuf yang memiliki ukuran butir. Analisis mikropaleontologi
dilakukan pada kode sampel LP 44, LP 26 dan LP 21 dan hasilnya adalah
kesemuannya tidak diketemukan adanya fosil foraminifera baik plangtonik maupun
bentonik sehingga disebut barren intervals. Oleh karena itu penentuan
umur dilakukan dengan melakukan kesebandingan dengan stratigrafi regional
ataupun mengacu pada peneliti terdahulu yang membahas formasi pada daerah
penelitian. Satuan breksi batupasir Nampol yang dapat dikesebandingkan dengan
Formasi Nampol yang mengacu pada Peta Geologi Regional Lembar Turen (Sujanto,
dkk., 1992) maka dapat ditarik kesimpulan umur satuan ini adalah Miosen Tengah
(N08 – N12).


2.1.1.1.2     Lingkungan Pengendapan


Penentuan lingkungan pengendapan satuan batupasir Nampol dilakukan berdasarkan
data – data lapangan dan analisis mikropaleontologi dilakukan pada kode sampel
LP 44, LP 26 dan LP 21 dan hasilnya adalah kesemuannya tidak diketemukan adanya
fosil foraminifera baik plangtonik maupun bentonik sehingga disebut barren
intervals
.  hal ini dikarenakan
satuan batuan ini tidak adanya kehadiran fosil foraminifera kecil khususnya
foraminifera bentonik yang sangat menentukan lingkungan pengendapan pada daerah
penelitian. Dengan indikasi tidak adanya fosil foraminifera kecil serta tidak mengandung
komposisi karbonatan (tidak bereaksi dengan HCl). Maka penentuan lingkungan
pengendapan satuan breksi batupasir Nampol didasarkan pada peneliti terdahulu
yaitu berada pada lingkungan darat sampai transisi (Sujanto, dkk., 1992).


2.1.1.1.3     Hubungan Stratigrafi


Hubungan satuan batupasir Nampol ini dengan satuan dibawahnya yaitu satuan
breksi andesit Wuni adalah tidak selaras dan satuan diatasnya yaitu satuan
kalkarenit Punung adalah selaras menjari. Satuan breksi andesit Wuni berumur
akhir Oligosen Akhir sampai awal Miosen Awal dan umur dari satuan batupasir
Nampol adalah awal Miosen Tengah (N10 – N12) mempunyai hubungan stratigrafi
tidak selaras. Hubungan stratigrafi dengan satuan diatasnya kalkarenit Punung
yang berumur akhir Miosen Tengah (N12 – N14) selaras menjari. Hubungan
stratigrafi selaras menjari ini didapatkan dari data sekunder geologi regional
Sujanto, dkk., (1992) dan Sartono (1964) dan data analisis paleontoloi oleh
peneliti.


2.1.1.2      Satuan Kalkarenit Punung


Satuan batuan ini merupakan satuan batuan yang
tersusun oleh litologi berupa kalkarenit, kalsilutit, kalsilutit berfosil dan
kalsirudit. Berdasarkan data Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur (Nahrowi,
1979) batuan ini dapat dikorelaikan dan dikesebandingkan dengan Formasi Punung.
Berdasarkan litostratigrafi dalam SSI (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), maka
satuan ini diberi nama satuan kalkarenit Punung.


2.1.1.2.1    
Penyebaran
dan Ketebalan


Satuan ini menempati 27,1% dari daerah penelitian.
Satuan kalkarenit Punung menempati satuan geomorfologi bergelombang kuat –
perbukitan denudasional (D2). Satuan batuan ini pelamparannya berada disebelah
selatan dari daerah penelitian dengan wilayah meliputi Desa Sumbersuko.
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada penampang A – B, diketahui ketebalan
dari satuan ini adalah ±245,55 m.


2.1.1.2.2    
Litologi
Penyusun


Litologi penyusun satuan kalkarenit Punung terdri
dari kalkarenit, kalsilutit, kalsilutit berfosil, dan kalsirudit (Tabel 2.6).


Tabel 2.6 Kolom litologi satuan kalkarenit
Punung (tanpa skala).







2.1.1.1.1.1       Kalkarenit




 Kalkarenit secara megaskopis
mempunyai warna segar abu - abu kecoklatan, warna lapuk coklat tua, tekstur
klastik dengan ukuran butir pasir halus - pasir kasar, sortasi baik, kemas
tertutup, struktur berlapis dan laminasi,  komposisi mineral karbonat dan cangkang fosil (Gambar
2.27).





Gambar 2.27   A.
Kalkarenit; B. Struktur laminasi; C. Keterdapatan cangkang pelecypoda pada
kalkarenit; D. Cangkang gastropoda (foto diambil dari LP 29 lensa menghadap ke
timur)



Secara mikroskopis kalkarenit diwakili oleh sayatan
LP 29 (Lampiran petrografi hal 221 - 222) dengan kode sayatan LP 29D, memiliki
warna merah muda, kemas
point, mud-suported  komposisi mikrit 80%, sparit 8%, dan fosil 12%
dengan nama petrografi
wackestone
(Dunham, 1962).


2.1.1.1.1.1       Kalsilutit








Kalsilutit secara megaskopis memiliki warna abu - abu keputihan,
tekstur klastik, ukuran butir lempung, struktur berlapis, komposisi mineral
karbonat (Gambar 2.28). Secara mikroskopis kalsilutit diwakili oleh sayatan LP
29 (Lampiran petrografi hal 223 - 224) dengan kode sayatan LP29 B, memiliki
warna merah muda, dengan kemas long, mud-suported komposisi
mikrit 80%, sparit 15%, mineral feldspar 2% dan fosil 3% dengan nama petrografi
mudstone (Dunham, 1962).





Gambar 2.28   Kalsilutit
dari satuan kalkarenit Punung (foto diambil dari LP 29 lensa menghadap ke
timur)



2.1.1.1.1.1       Kalsilutit Berfosil






Kalsilutit berfosil secara megaskopis mempunyai warna segar hitam,
tekstur klastik, struktur berlapis, ukuran butir lempung, komposisi mineral
karbonat, sisipan lignit, dan melimpah pecahan - pecahan cangkang pelecypoda
(Gambar 2.29).






Gambar 2.29   Kalsilutit
berfosil dari satuan kalkarenit Punung mempunyai kenampakan fisik melimpahnya
pecahan – pecahan cangkang dan keterdapatan sisipan lignit (foto diambil dari
LP 29 lensa menghadap ke timur
)


Secara mikroskopis kalsilutit berfosil diwakili oleh sayatan LP 29
(Lampiran petrografi hal 225 - 226) dengan kode sayatan LP29 C, memiliki warna
merah muda dengan kemas long,
mud-suported komposisi mikrit 80%, sparit
18%, mineral orthoclas 2% dengan nama petrografi
mudstone (Dunham, 1962).


2.1.1.1.1.1       Kalsirudit 








Kalsirudit secara megaskopis mempunyai warna segar
coklat keputihan, warna lapuk coklat kehitaman, bentuk butir membulat -
membulat tanggung, ukuran butir kerakal - brangkal, kemas terbuka, sortasi
buruk, struktur berlapis, fragmen batugamping terumbu dengan warna segar putih,
warna lapuk coklat, komposisi mineral karbonat, koral, matrik dari kalsirudit
adalah kalsilutit, semen karbonat (Gambar 2.30). Secara mikroskopis kalsirudit
diwakili oleh sayatan LP 29 (Lampiran petrografi 226 - 228) dengan kode sayatan
LP 29A (M) untuk matrik kalsilutit, dan kode sayatan LP 29A (F) untuk fragmen
batugamping terumbu.






Gambar 2.30
A. Kalsirudit dengan fragmen ukuran brangkal – bongkah; B. Kalsirudit dengan
fragmen ukuran kerakal (foto diambil dari LP 29 lensa menghadap ke barat).


Secara mikroskopis matrik kalsilutit memiliki warna
merah muda, dengan kemas
long, komposisi mikrit 80%, sparit 12%, mineral
opak 5% dan fosil 3% dengan nama petrografi
mudstone (Dunham, 1962). Secara mikroskopsis fragmen
batugamping terumbu memiliki warna coklat keabu - abuan kemas
long,
komposisi fosil 65% meliputi pecahan alga, dan ooids, sparit 20%, dan mikrit
15% dengan nama petrografi
packstone
(Dunham, 1962).


2.1.1.1.1     Penentuan Umur


Pada satuan Kalkarenit Punung ini penentuan umur dilakukan dengan
menggunakan analisis mikropaleontologi, karena penyusun satuan batuan ini
adalah batugamping klastik dari ukuran kalsirudit sampai kalsilutit. Analisis
mikropaleontologi dilakukan pada kode sampel LP 68, LP 50 dan LP 19 (Lampiran
mikropaleontologi hal. 233 - 238).


Berdasarkan analisis fosil plangtonik pada satuan kalkarenit Punung
dapat ditarik kesimpulan bahwa umur dari satuan kalkarenit Punung adalah Miosen
Tengah (N12 – N14) (Lampiran mikropaleontologi hal 257) berdasarkan umur dari
zonasi Blow (1969).   


2.1.1.1.2     Lingkungan Pengendapan


Penentuan lingkungan pengendapan satuan kalkarenit Punung dilakukan
berdasarkan data – data lapangan, dan data analisis fosil foraminifera kecil
khususnya foraminifera bentonik. Analisis dilakukan dengan menggunakan sampel
dari bawah, tengah dan atas. Pengambilan sampel dilakukan pada LP 68, LP 50 dan
LP 19


Kelimpahan fosil foraminifera bentonik pada setiap sampel sangat kecil
sehingga dari satu sampel hanya dapat diambil beberapa bahkan hanya satu fosil
foraminifera kecil bentonik tersebut. Berdasarkan analisis dari fosil
foraminifera bentonik didapatkan lingkungan pengendapan transisi – neritik tepi
(Tipsword, 1966). Dari data tersebut juga didukung data lapangan berupa
keterdapatan sisipan lignit pada kalsilutit berfosil yang menunjukan lingkungan
pengendapan adalah transisi. Keterdapatan batuan karbonat (bereaksi dengan HCl)
dapat diindikasikan bahwa lingkungan pengendapan adalah laut. Maka dapat
disimpulkan bahwa lingkungan pengendapan dari satuan kalkarenit Punung adalah
transisi – neritik tepi (Lampiran mikropaleontologi hal. 256).


2.1.1.1.3     Hubungan Stratigrafi


Hubungan satuan kalkarenit Punung ini dengan satuan
dibawahnya yaitu satuan batupasir Nampol dan satuan diatasnya yaitu satuan
batugamping terumbu Punung (Gambar 2.31) adalah sama – sama selaras menjari.
Satuan batupasir Nampol berumur awal Miosen Tengah (N10 – N12) dan umur dari
satuan kalkarenit Punung adalah akhir Miosen Tengah (N12 – N14) serta hubungan
stratigrafi dengan satuan diatasnya batugamping terumbu Punung yang berumur
akhir Miosen Tengah – awal Miosen Akhir (N14 – N16) juga selaras menjari.
Hubungan stratigrafi selaras menjari antara satuan kalkarenit Punung dan
batugamping terumbu Punung ini didapatkan dari analisis mikropaleontologi umur
batuan dengan menggunakan foraminifera plangtonik, serta data lapangan yang
menunjukan adanya hubungan stratigrafi selaras menjari pada LP 29, LP 19 dan LP
28 dengan keterdapatan satuan batugamping terumbu Punung pada satuan kalkarenit
Punung. Hubungan stratigrafi selaras menjari juga didapatkan dari rekontruksi
arah jurus dan kemiringan lapisan batuan. Sedangkan untuk hubungan selaras
menjari antara kalkarenit Punung dan batupasir Nampol didapat dari data
sekunder geologi regional (Sujanto, dkk., 1992).






Gambar 2.31   Kontak
antara satuan kalkarenit Punung dan satuan batugamping terumbu Punung (foto
diambil dari LP 68 lensa menghadap selatan).


2.1.1.1     
Satuan
Batugamping Terumbu Punung


Satuan batuan ini merupakan satuan batuan yang
tersusun oleh litologi berupa batugamping terumbu dan batugamping kristalin.
Berdasarkan data geologi regional (Sujanto, dkk., 1992) batuan karbonat yang
terdapat pada daerah penelitian termasuk kedalam Formasi Wonosari, akan tetapi
peneliti memasukan kedalam Formasi Punung, dilihat dari variasi litologinya dan
keterdapatanya pada Zona Fisiografi Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian timur
(Nahrowi, 1979). Berdasarkan litostratigrafi dalam SSI (Martodjojo dan
Djuhaeni, 1996), maka satuan ini diberi nama satuan batugampig terumbu Punung.


2.1.1.1.1    
Penyebaran
dan Ketebalan


Satuan ini menempati 26,14% dari daerah penelitian.
Satuan batugamping terumbu Punung menempati satuan geomorfologi tersayat kuat –
pegunungan karst (K2 dan K3). Satuan batuan ini pelamparannya berada disebelah
tengah yang membentang dari barat sampai timur dari daerah penelitian dengan
wilayah meliputi Desa Druju, Sumbermanjing Wetan, Sumbersuko dan Sekarbanyu. Berdasarkan
pengukuran yang dilakukan pada penampang A – B, diketahui ketebalan dari satuan
ini adalah ±315 m.


2.1.1.1.2     Litologi Penyusun




Litologi penyusun satuan batugamping terumbu Punung terdri dari batugamping
terumbu dan batugamping kristalin (Tabel 4.7), batuan penyusun akan dijelaskan
pada sub bab – sub bab berikutnya.







Tabel 2.7 Kolom
litologi satuan batugamping terumbu Punung (tanpa skala)








2.1.1.1.1.1       Batugamping Terumbu






Batugamping terumbu secara megaskopsis mempunyai warna abu - abu
keputihan, warna lapuk coklat kehitaman, struktur masif dan lapies, terkstur
non klastik, komposisi koral, moluska, dan mineral kalsit (Gambar 2.32)
dibeberapa tempat ditemukan batugamping terumbu dengan struktur berlapis (Gambar
2.33). Secara mikroskopis batugamping terumbu diwakili oleh sayatan LP 76 (Lampiran
petrografi hal 229 - 230) dengan kode sayatan LP 76, memiliki warna abu - abu
kecoklatan dengan kemas point, grain-suported komposisi berupa
fosil 95% terdiri dari skeletal grains dan cortoids, mikrit 2% dan sparit 3%
dengan nama petrografi packstone
(Dunham, 1962).






Gambar 2.32   Batugamping
terumbu dengan struktur masif dari satuan batugamping terumbu Punung (foto
diambil dari LP 76 lensa menghadap ke timur
).






Gambar 2.33   Batugamping
terumbu dengan struktur berlapis dari satuan batugamping terumbu Punung (foto
diambil dari LP 29 lensa menghadap selatan).


2.1.1.1.1.1      
Batugamping
Kristalin






Batugamping kristalin secara megaskopsis warna
segar putih kemerahan, warna lapuk coklat kemerahan, tekstur non klastik, struktur
masif, komposisi mineral karbonat (Gambar 2.34). Secara mikroskopis batugamping
kristalin diwakili oleh sayatan LP 77 (Lampiran petrografi hal. 231 - 232)
dengan kode sayatan LP 77, Secara mikroskopis memiliki warna abu – abu, dengan komposisi
kristal kalsit 90%, dan mikrit 2% dengan nama petrografi crystalline (Dunham, 1962).






Gambar 2.34   Batugamping
kristalin dari satuan batugamping terumbu Punung (foto diambil dari LP 77 lensa
menghadap ke barat).


2.1.1.1.1    
Penentuan
Umur


Pada satuan batugamping terumbu Punung ini
penentuan umur dilakukan dengan menggunakan analisis mikropaleontologi (Lampiran
Mikropaleontologi hal 239 - 247), karena penyusun satuan batuan ini adalah batuan
karbonat yaitu batugamping terumbu. Analisis mikropaleontologi dilakukan pada
kode sampel LP 29E, LP 68 dan LP 80.


Berdasarkan analisis fosil plangtonik pada satuan
kalkarenit Punung dapat ditarik kesimpulan bahwa umur dari satuan kalkarenit
Punung adalah Miosen Tengah (N14 – N16) (Lampiran mikropaleontologi hal. 257) berdasarkan
umur dari zonasi Blow (1969). 


2.1.1.1.2     Lingkungan Pengendapan


Penentuan lingkungan pengendapan satuan batugamping terumbu Punung
dilakukan berdasarkan data – data lapangan, dan data analisis fosil
foraminifera kecil khususnya foraminifera bentonik. Analisis dilakukan dengan
menggunakan sampel dari bawah, tengah dan atas. Pengambilan sampel dilakukan
pada LP 29E, LP 68 dan LP.


Berdasarkan analisis dari fosil foraminifera bentonik didapatkan
lingkungan pengendapan neritik tepi (Tipsword, 1966). Keterdapatan batuan
karbonat (bereaksi dengan HCl) dapat diindikasikan bahwa lingkungan pengendapan
adalah laut dangkal (neritik tepi). Maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan
pengendapan dari satuan batugamping terumbu Punung adalah neritik tepi
(Lampiran mikropaleontologi hal 256).


2.1.1.1.3     Hubungan Stratigrafi


















Hubungan satuan batugamping terumbu Punung ini dengan satuan dibawahnya
yaitu satuan kalkarenit Punung adalah selaras menjari, sedangkan hubungan
stratigrafi diatasnya dengan endapan pasir – bongkah adalah ketidakselarasan. Umur
dari satuan batugamping terumbu Punung adalah akhir Miosen Tengah – awal Miosen
Akhir (N14 – N16) menjari dengan satuan dibawahnya yaitu kalkarenit Punung yang
berumur akhir Miosen Tengah (N12 – N14). Hubungan stratigrafi selaras menjari
antara satuan kalkarenit Punung dan batugamping terumbu Punung ini didapatkan
dari analisis mikropaleontologi umur batuan dengan menggunakan foraminifera
plangtonik, serta data lapangan yang menunjukan adanya hubungan stratigrafi
selaras menjari pada LP 29, LP 19 dan LP 28 dengan keterdapatan satuan
batugamping terumbu Punung pada satuan kalkarenit Punung. Hubungan stratigrafi
selaras menjari juga didapatkan dari rekontruksi arah jurus dan kemiringan
lapisan batuan dan satuan diatasnya yaitu satuan kalkarenit Punung adalah sama
– sama selaras menjari. Hubungan stratigrafi antara satuan batugamping terumbu
Punung dan endapan pasir – bongkah adalah tidak selaras, dikarenakan proses
dari endapan pasir – bongkah masih terjadi sampai saat ini atau berumur Kuarter
(Holosen). Hubungan stratigrafi antara satuan breksi andesit Wuni dengan satuan
batugamping terumbu Punung adalah tidak selaras. Hubungan ini dilapangan
ditemukan dengan mengetahui bahwa batugamping terumbu Punung menindih breksi
andesit Wuni (Gambar 2.35).






Gambar 2.35   Kontak
tidak selaras antara breksi andesit Wuni dan batugamping terumbu Punung (foto
diambil dari LP 77 lensa menghadap ke barat).


2.1.1.1     
Satuan
Endapan Pasir – Bongkah


Satuan ini merupakan satuan yang tersusun oleh
endapan berukuran pasir sampai bongkah. Satuan ini merupakan satuan dengan umur
batuan yang paling muda pada daerah penelitian.


2.1.1.1.1    
Penyebaran
dan Ketebalan


Satuan ini menempati 0,59% dari daerah penelitian dengan
morfologi bergelombang lemah dan pola pengaliran berupa parallel. Satuan ini
menempati satuan geomorfologi bergelombang lemah fluvial (F1). Satuan endapan
ini pelamparannya berada disebelah barat laut dari daerah penelitian dengan
wilayah meliputi Desa Tawangrejeni berada di sekitar Kali Lesti. Satuan endapan
pasir - bongkah mempunyai ketebalan di lapangan mencapai 10 m.


2.1.1.1.2    
Litologi
Penyusun


Penyusun satuan endapan pasir – bongkah terdri dari
material lepas andesit dan batugamping yang belum terlitifikasi atau pembatuan (Gambar
2.36). Satuan ini berupa satuan material endapan (material lepas) yang berukur
pasir sampai bongkah, material lepas tersebut berupa andesit dan batugamping
(Tabel 2.12). Material lepas ini tersingkap di sepanjang sungai Lesti.







Tabel 2.8 Kolom litologi endapan
pasir - bongkah (tanpa skala).











Gambar 2.36   Endapan
berukuran pasir – bongkah (foto diambil dari LP 01 lensa menghadap ke selatan).







2.1.1.1.1     Penentuan Umur


Penentuan umur didasarkan pada karakteristik dari material penyusun
satuan ini yang berupa material lepas berukuran pasir – bongkah yang belum
terkonsolidasi dengan baik, dapat dikatakan bahwa satuan ini adalah satuan
endapan. Berdasarkan pada data lapangan bahwa proses pengendapan masih
berlangsung hingga sekarang, maka umur dari satuan ini adalah Kuarter.


2.1.1.1.2     Lingkungan Pengendapan


Lingkungan pengendapan dari satuan ini adalah lingkungan darat. Hal
tersebut didasarkan pada data – data pengamatan di lapangan, yang mana untuk
penentuan lingkungan pengendapan dapat dilihat dri material – material lepas
dan belum terlitifikasi. Material penyusun satuan endapan ini merupakan hasil
erosi dari batuan yang lebih tua.


2.1.1.1.3     Hubungan Stratigrafi


 Hubungan satuan endapan
berukuran pasir – bongkah dengan satuan batugamping terumbu Punung adalah tidak
selaras. Hal ini didasarkan pada perbedaan umur yang mencolok. Karena proses
yang menghasil endapan berukuran pasir – bongkah masih terjadi sampai saat ini.


2.1.2          
Korelasi
dan Kesebandingan Stratigrafi Regional dengan Stratigrafi Daerah Penelitian




Dari hasil analisis secara keseluruhan pada satuan
batuan yang terdapat di daerah penelitian, maka dapat dikorelasikan dan
disebandingkan antara stratigrafi daerah penelitian dengan stratigrafi regional
peneliti terdahulu  Peta Geologi Regional
Lembar Turen (Sujanto, dkk., 1992) dan stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur
bagian timur (Nahrowi, 1979) (Tabel 2.9). Hasil korelasi antara Stratigrafi
Regional Lembar Turen dan Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian
timur (Nahrowi, 1972) dengan stratigrafi pada daerah penelitian berdasarkan
litostratigrafi dapat diketahui bahwa satuan breksi andesit skoria Mandalika
termasuk kedalam Formasi Mandalika, diatasnya secara tidak selaras diendapkan
satuan breksi andesit Wuni termasuk kedalam Formasi Wuni, diatasnya secara
selaras menjari diendapkan satuan batupasir Nampol termasuk kedalam Formasi
Nampol, diatasnya secara selaras menjari diendapkan satuan kalkarenit Punung
termasuk kedalam Formasi Punung, dan diatasnya secara selaras menjari
diendapkan satuan batugamping terumbu Punung termasuk kedalam Formasi Punung
dan satuan diatasnya diendapkan secara tidak selaras endapan pasir – bongkah
yang termasuk kedalam Endapan Aluvial.













Silahkan download filenya
dibawah ini sebagai acuan, bahan bacaan dan lainnya


1.    
Full Draft