Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara





Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara






Secara umum stratigrafi regional Jawa
Barat Utara dapat dibagi menjadi dua yaitu stratigrafi Paleogen dan Neogen
(Bishop, 2000). Sedimen Paleogen di endapkan dalam cekungan rift yang di kontrol oleh sesar-sesar
yang berarah relatif utara-selatan. Batuan sedimen tersebut dapat dipisahkan
menjadi dua bagian yaitu endapan syn-rift dan endapan post-rift. Endapan syn-rift diwakili
oleh Formasi Talang Akar bagian bawah dan pre-Talang Akar, Sedangkan endapan post-rift
diwakili oleh Formasi Talang Akar bagian atas dan Formasi Baturaja. Formasi
Talang Akar berkembang dari endapan fluvial
di bagian bawah berubah secara berangsur menjadi endapan fluvio-deltaic dan shallow marine di
bagian atas, sedangkan Formasi Baturaja merupakan endapan laut berupa sedimen
karbonat.




Sedimen
Neogen diendapkan pada lereng utara dari cekungan
belakang busur yang megikuti
pola umum struktur Jawa. Pola struktur Sunda pada periode ini juga masih berperan secara lokal. Sedimen
Neogen diwakili oleh Formasi Baturaja, Formasi Cibulakan Atas, Formasi Parigi,
dan Formasi Cisubuh. Urutan satuan stratigrafi dari Paleogen hingga Neogen dari
tua hingga kemuda secara berturut- turut yaitu, basement (Batuan Dasar), Formasi Jatibarang, Formasi Talang Akar, 
Formasi
Baturaja, Formasi Cibulakan Atas, Formasi Parigi dan Formasi Cisubuh (Gambar 2.3). Urutan stratigrafinya
sebagai berikut :





Gambar
2.3
Stratigrafi
Cekungan Jawa Barat Utara (Noble dkk., 1997).









2.7.1.
Basement (Batuan Dasar)





Berdasarkan analisis terhadap sampel
dari data pengeboran pada cekungan ini, batuan dasar cekungan ini terdiri dari
sebagian besar batuan metasedimen berderajat rendah (Hamilton, 1979).
Namun pada beberapa
daerah seperti Tinggian Krisna pada bagian
tengah Cekungan Jawa Barat Utara
batuan dasar yang teridentifikasi yaitu andesit sedangkan pada Seribu
platform yaitu batuan beku. Kelompok batuan dasar pada cekungan ini memiliki
umur Pra- Tersier hingga Paleogen Awal.


2.7.2. Formasi Jatibarang



Formasi Jatibarang terdiri dari
batuan-batuan vulkanik ekstrusif yang sebagian
besar merupakan interkalasi tuf, lava (basalt/andesit), aglomerat, breksi
gunungapi dan beberapa berseling terhadap shale.
Batuan vulkanik Jatibarang diendapkan pada Oligosen Awal yang merupakan produk
dari aktivitas gunungapi yang berasosiasi dengan endapan-endapan synrift yaitu endapan fluvial/nonmarine. Berdasarkan analisis terhadap batuan vulkanik
Jatibarang, batuan vulkanik ini merupakan aktivitas gunungapai berupa fissure eruption yang difasilitasi oleh patahan-patahan berarah
Utara-selatan (Clements dan Hall,
2007). Ketebalan lapisan vulkanik Jatibarang ini sekitar 1200 m dan menipis
kearah Barat (Adnan dkk.,1991). Formasi Jatibarang ini di beberapa tempat
bertindak sebagai batuan reservoir yang potensial. Terdapat 2 (dua) tipe batuan
reservoir dari formasi ini yaitu, tipe “masif”
yang porositas dan permeabilitasnya di bentuk oleh rekahan-rekahan (fracture porosity), kemudian 
tipe kedua yang berupa satuan tufan yang bersisipan dengan shale dan konglomerat dimana konglomerat
bertindak sebagai batuan reservoir yang potensial.


2.7.3. Formasi Talang Akar





Pada
synrift berikutnya diendapkan Formasi
Talang Akar yang secara garis besar merupakan batuan sedimen yang
diendapkan pada lingkungan fluvio- deltaic dan berubah menjadi lingkungan marine pada bagian atas. Litologi
penyusun Formasi Talang Akar bagian bawah terdiri dari batupasir berukuran
kasar dan sedang, batu lempung, paleosol, dan tuf jatuhan. Umumnya batupasir
maupun konglomerat pada Formasi Talang Akar merupakan immature sand yang terdiri dari fragmen litik, kuarsa
polikristalin, kuarsit, skis dan granit (Butterworth dan Atkinson, 1993). Batuan
ini diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Jatibarang, menandai sistem half graben
yang aktif. Keterdapatan alga lakustrin mengindikasikan bahwa formasi ini diendapkan pada
lingkungan benua. Berdasarkan studi nanofosil yang dilakukan Formasi
Talang Akar bagian ini diendapkan pada Oligosen Awal
Bagian Akhir.


Formasi Talang Akar bagian atas terdiri
dari batupasir, batulempung, batubara, tuf epiklastika dan batugamping yang
diendapkan pada lingkungan marine yang
dicirikan dengan keterdapatan organisme laut berupa keterdapatan foraminifera
besar, koral dan lainnya. Perubahan lingkungan pengendapan pada Formasi Talang Akar dari lingkungan delta menjadi lingkungan marine mengindikasikan fase synrift
pada siklus fase transgresi kedua pada Neogen. 
Selain itu keterdapatan vitric tuf dan lithic tuf pada formasi
ini mengindikasikan bahwa
kegiatan aktifitas vulkanisme sudah tidak dominan dan berangsur melemah
(Butterworth dan Atkinson, 1993).


2.7.4. Formasi Baturaja





Formasi ini diendapkan secara tidak
selaras di atas Formasi Talang Akar. Litologi penyusun Formasi Baturaja
didominasi oleh batugamping terumbu dengan penyebaran yang tidak merata. Pada
bagian bawah tersusun oleh batugamping masif
yang semakin keatas semakin berpori, selain itu terdapat pula batulempung
glaukonitik, napal, dan dolomit pada bagian bawah. Batugamping pada Formasi
Baturaja ini merupakan batugamping pada paparan dan terdapat pula yang
berkembang sebagai reef build up yang
menandai fase post rift yang secara
regional menutupi lapisan dibawahnya. Keterdapatan foraminifera besar
seperti Spiroclycpeus sp. Pada
batugamping mengindikasikan
lingkungan pengendapan Formasi Baturaja adalah pada laut dangkal. Berdasarkan
studi biostratigrafi, umur Formasi Baturaja adalah Miosen Awal.


Pengendapan batugamping Baturaja ini
disebabkan oleh peningkatan muka air laut yang stabil dan cukup lama pada
periode Miosen Awal/N4 (Haq dkk, 1988). Berdasarkan kajian lanjutan terhadap
aktivitas tektonik regional diketahui bahwa aktivitas tektonik lebih mengontrol
proses trasgresi pada Cekungan Jawa Barat Utara ini dibandingkan hanya akibat
eustasi muka air laut pada periode
pengendapan Formasi Baturaja (Lunt, 2007).


2.7.5. Formasi Cibulakan Atas





Formasi
Cibulakan Atas ini secara garis besar tersusun
oleh lapisan batuan sedimen klastik yang sangat tebal
dan diselingi oleh batulempung maupun batugamping. Kenaikan kualitas suplai
sedimen secara drastis pasca pengendapan formasi batugamping Formasi Baturaja,
diidentifikasi merupakan akibat terjadinya pengangkatan dan erosi yang kuat
yang secara bersamaan dengan penurunan cekungan secara berangsur akibat
ketidakstabilan tektonik. Formasi ini diendapkan pada Miosen Awal bagian tengah
hingga Miosen Tengah dan merupakan fasies yang mengkasar kearah atas atau
pendangkalan kearah atas yang mengidentifikasikan sekuen progradasi major delta dari Utara (Lunt, 2007).
Sedangkan Ponto dkk.,(1987) menginterpetasikan 2 (dua) sistem pengendapan utama
yang mengontrol pengendapan di Formasi Cibulakan Atas ini, yaitu sistem
pengendapan delta dan berubah menjadi
sistem pengendapan laut terbuka pada zona laut
dangkal.


Formasi Cibulakan Atas ini terbagi
menjadi 3 anggota Formasi, yaitu Massive, Main dan Pre-Parigi sebagai berikut :


a.    
Massive


Anggota ini terendapkan secara tidak
selaras diatas Formasi Baturaja. Litologi penyusun satuan ini adalah
perselingan antara batulempung dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir
halus-sedang. Pada Formasi ini dijumpai kandungan hidrokarbon, terutama pada
bagian atas. Selain itu, terdapat fosil foraminifera plangtonik seperti Globigerina Trilobus
foraminifera
bentonik seperti Amphistegina (Arpandi
dan Patmosukimono, 1975).


b.    
Main




Anggota Main ini terendapkan secara
selaras diatas anggota Massive. Litologi penyusunnya adalah batulempung
berselingan dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir pasir halus-sedang
(bersifat glaukonitan). Pada awal pembentukannya, berkembang batugamping dan terdapat
lapisan tipis batupasir yang pada bagian ini dibedakan dengan anggota
Main itu sendiri, sehingga disebut sebagai Mid
Main Carbonate
(Budiyanti dkk, 1991).


c.     
Pre-Parigi


Anggota
Pre-Parigi ini terendapkan secara selaras diatas Anggota Main. Adapun litologi penyusunnya adalah
perselingan batugamping, dolomit, batupasir dan batulanau. Anggota ini
terbentuk pada Kala Miosen Tengah sampai Miosen Akhir dan diendapkan pada
lingkungan neritik tengah- neritik dalam (Arpandi dan Patmokusukimo, 1975) dengan
dijumpainya biota laut dangkal dan juga kandungan batupasir glaukonitan.


2.7.6. Formasi Parigi


Formasi Parigi ini diendapkan secara
selaras di atas Anggota Pre-Parigi. Litologi penyusun Formasi Parigi di
dominasi oleh batugamping terumbu, batugamping klastik dan sisipan dolomit.
Selain itu juga, pada ini dijumpai fosil
foraminifera besar seperti Alveolina
quoqi
, foraminifera bentonik kecil seperti 
Quiquelculina
korembatira
, foraminifera plangtonik seperti Globigerina siakensis yang menandakan
bahwa Parigi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal hingga neritik tengah (Arpandi dan Patmusukismo, 1975).
Pengendapan Parigi ini melampar ke seluruh Cekungan Jawa Barat Bagian
Utara dan pada umumnya berkembang sebagai terumbu yang menumpang secara selaras
di Cibulakan Atas. Kehadiran Parigi ini menunjukan kondisi cekungan yang relatif
stabil. Berdasarkan studi biostratigrafi ini diendapkan pada Miosen Akhir.


2.7.7. Formasi Cisubuh




Formasi Cisubuh diendapkan secara
selaras diatas Formasi Parigi dengan litologi penyusun Formasi Cisubuh tersusun
oleh batulempung yang berseling terhadap batupasir dan batugamping yang
mengandung banyak glaukonit, lignit serta sedikit rijang dan fragmen
batuan beku vulkanik. Pada bagian bawah terdapat kandungan fosil yang semakin kearah
atas semakin sedikit
dan semakin bersifat pasiran
dengan dijumpai batubara yang mengindikasikan Formasi Cisubuh diendapkan pada fase regresi pada kala Neogen. Umur
formasi ini adalah Miosen Akhir sampai Plio-Pleistosen. Berdasarkan studi
paleontologi, teridentifikasi Formasi Cisubuh diendapkan pada lingkungan laut
dangkal yaitu pada lingkungan inner
neritic
dan berangsur mengalami pendangkalan menjadi lingkungan litoral-paralic (Arpandi dan
Patmusukimo, 1975) dengan ketebalan berkisar antara 100 m – 1200m.