Tinjauan Pustaka Tektonik Lempeng Lengkap
Tektonik Lempeng
Sudah sejak lama para ahli kebumian
meyakini bahwa benua-benua yang ada di muka bumi ini sebenarnya tidaklah tetap
di tempatnya, akan tetapi secara berlahan benua benua tersebut bermigrasi di
sepanjang bola bumi. Terpisahnya bagian daratan dari daratan asalnya dapat
membentuk suatu lautan yang baru dan dapat juga berakibat pada terjadinya
proses daur ulang lantai samudra kedalam interior bumi. Sifat mobilitas dari
kerak bumi diketahui dengan adanya gempabumi, aktifitas gunungapi dan pembentukan
pegunungan (orogenesa). Berdasarkan ilmu pengetahuan kebumian, teori yang
menjelaskan mengenai bumi yang dinamis (mobil) dikenal dengan Tektonik Lempeng.
2.6.1. Hipotesa Pengapungan Benua
(Continental Drift)
Revolusi
dalam ilmu pengetahuan kebumian sudah dimulai sejak awal abad ke 19, yaitu
ketika munculnya suatu pemikiran yang bersifat radikal pada kala itu dengan
mengajukan hipotesa tentang benua benua yang bersifat mobil yang ada di
permukaan bumi. Sebenarnya teori tektonik lempeng sudah muncul ketika gagasan
mengenai hipotesa Pengapungan Benua (Continental Drift) diperkenalkan pertama
kalinya oleh Alfred Wegener (1915)
dalam bukunya “Die Entstehung der Kontinente und Ozeane” atau “The Origins of
Oceans and Continents”.
Alfred
Lothar Wegener lahir di Berlin pada tanggal 1 November 1880 adalah seorang ilmuwan dan meteorolog
dari Jerman. Ia dikenal dengan hipotesanya mengenai “Continental Drift” (Kontinentalverschiebung), yang dikemukakan pada
tahun 1912 dan menyatakan bahwa kontinen secara perlahan bergerak di permukaan
bumi. Hipotesa “Continental Drift” muncul ketika ia dikagetkan oleh keberadaan
fosil dalam strata geologi yang sekarang dipisahkan oleh lautan semasa bekerja
di Universitas Marburg. Wegener meyakinkan bahwa kontinen itu sendiri telah
mengalami pergeseran sehingga terpisah dari kontinen induknya (supercontinent),
yang terjadi sekitar 180 juta tahun yang lalu, hal ini terlihat dari bukti
fosil yang terdapat didalamnya. Wegener menggunakan fitur-fitur alam, fosil,
dan iklim sebagai bukti untuk mendukung hipotesisnya tentang continental drift.
Contoh dari fitur alam alam yang digunakan adalah posisi antar gunung di Afrika
dan Amerika Selatan yang sejajar; juga keberadaan batubara di Eropa cocok
dengan keberadaan batubara di Amerika Utara. Wegener juga mencatat bahwa fosil
reptil seperti Mesosaurus dan Lystrosaurus ditemukan di tempat yang sekarang
terpisahkan oleh lautan. Seiring dengan kemungkinan bahwa reptil tersebut telah
berenang dengan jarak yang sangat jauh, Wegener yakin bahwa reptil-reptil
tersebut pernah hidup pada satu daratan yang kemudian terpisah atau
terbagi-bagi. Tahun 1912 Wegener menerbitkan teori “Continental Drift”, yang
menyebutkan bahwa semua kontinen pada awalnya merupakan satu kesatuan dan
kemudian karena pergerakannya kontinen tersebut terbagi menjadi beberapa bagian
yang kemudian bermigrasi (drifted) ke posisi seperti saat ini. Pada tahun 1915,
dalam The Origin of Continents and Oceans (Die Entstehung der Kontinente und
Ozeane), Wegener mempublikasikan teori bahwa dahulu pernah ada satu
superkontinen, yang di kemudian hari dinamakannya “Pangaea” yang berarti “Semua
Daratan”, dan mengumpulkan bukti-bukti dari berbagai bidang. Bukti bukti
tentang adanya super-kontinen Pangaea pada 180 juta tahun yang lalu didukung oleh
fakta fakta sebagai berikut:
Kecocokan / kesamaan Garis Pantai
Adanya
kecocokan garis pantai yang ada di benua Amerika Selatan bagian timur dengan
garis pantai benua Afrika bagian barat, dimana kedua garis pantai ini cocok dan
dapat dihimpitkan satu dengan lainnya (gambar 2-8). Wegener menduga bahwa benua
benua tersebut diatas pada awalnya adalah satu atas dasar kesamaan garis
pantai. Atas dasar inilah kemudian Wegener mencoba untuk mencocokan semua benua
benua yang ada di muka bumi.
Gambar
2-8 Kecocokan garis pantai benua
Amerika Selatan Bagian Timur dengan garis pantai benua Afrika Bagian Barat.
Persebaran Fosil:
Diketemukannya fosil-fosil yang berasal dari binatang dan
tumbuhan yang tersebar luas dan terpisah di beberapa benua, seperti (gambar
2-9):
a. Fosil
Cynognathus, suatu reptil yang hidup sekitar
240 juta tahun yang lalu dan ditemukan di benua Amerika Selatan dan benua
Afrika.
b. Fosil
Mesosaurus, suatu reptil yang hidup di danau
air tawar dan sungai yang hidup sekitar 260 juta tahun yang lalu, ditemukan di
benua Amerika Selatan dan benua Afrika.
c. Fosil
Lystrosaurus, suatu reptil yang hidup di daratan
sekitar 240 juta tahun yang lalu, ditemukan di benua benua Afrika, India, dan
Antartika.
d. Fosil
Clossopteris, suatu tanaman yang hidup 260 juta tahun
yang lalu, dijumpai di benua benua Afrika, Amerika Selatan, India, Australia,
dan Antartika.
Gambar 2-9 Persebaran fosil Cynognathus
diketemukan hanya di benua Amerika Selatan dan benua Afrika; fosil Lystrosaurus
dijumpai di benua -benua Afrika, India, dan Antartika; fosil Mesosaurus di
benua benua Amerika Selatan dan Afrika, dan fosil Glossopteris dijumpai di
benua benua Amerika Selatan, Afrika, India, Antartika, dan Australia.
Pertanyaannya adalah, bagaimana
binatang-binatang darat tersebut dapat bermigrasi menyebrangi lautan yang
sangat luas serta di laut yang terbuka? Boleh jadi jawabannya adalah bahwa
benua-benua yang ada sekarang pada waktu itu bersatu yang kemudian pecah dan
terpisah pisah seperti posisi saat ini.
Kesamaan Jenis Batuan :
Jalur pegunungan Appalachian yang
berada di bagian timur benua Amerika Utara dengan sebaran berarah timurlaut dan
secara tiba-tiba menghilang di pantai Newfoundlands. Pegunungan yang umurnya
sama dengan pegunungan Appalachian juga dijumpai di British Isles dan
Scandinavia. Kedua pegunungan tersebut apabila diletakkan pada lokasi sebelum
terjadinya pemisahan / pengapungan, kedua pegunungan ini akan membentuk suatu
jalur pegunungan yang menerus. Dengan cara mempersatukan kenampakan
bentuk-bentuk geologi yang dipisahkan oleh suatu lautan memang diperlukan, akan
tetapi data data tersebut belum cukup untuk membuktikan hipotesa pengapungan
benua (continental drift). Dengan kata lain, jika suatu benua telah mengalami
pemisahan satu dan lainnya, maka mutlak diperlukan bukti-bukti bahwa struktur
geologi dan jenis batuan yang cocok/sesuai. Meskipun bukti-bukti dari
kenampakan geologinya cocok antara benua benua yang dipisahkan oleh lautan,
namun belum cukup untuk membuktikan bahwa daratan/benua tersebut telah
mengalami pengapungan.
4. Bukti Iklim Purba (Paleoclimatic)
:
Para ahli kebumian juga telah
mempelajari mengenai ilklim purba, dimana pada 250 juta tahun yang lalu
diketahui bahwa belahan bumi bagian selatan pada zaman itu terjadi iklim
dingin, dimana belahan bumi bagian selatan ditutupi oleh lapisan es yang sangat
tebal, seperti benua Antartika, Australia, Amerika Selatan, Afrika, dan India
(gambar 2-10). Wilayah yang terkena glasiasi di daratan Afrika ternyata menerus
hingga ke wilayah ekuator. Akan tetapi argumentasi ini kemudian ditolak oleh
para ahli kebumian, karena selama perioda glasiasi di belahan bumi bagian
selatan, di belahan bumi bagian utara beriklim tropis yang ditandai dengan
berkembangnya hutan rawa tropis yang sangat luas dan merupakan material asal
dari endapan batubara yang dijumpai di Amerika bagian timur, Eropa dan Asia.
Pada saat ini, para ahli kebumian baru percaya bahwa daratan yang mengalami
glasiasi berasal dari satu daratan yang dikenal dengan super-kontinen Pangaea
yang terletak jauh di bagian selatan dari posisi saat ini. Bukti-bukti dari
Wegener dalam mendukung hipotesa Pengapungan Benua baru diperoleh setelah 50
tahun sebelum masyarakat ahli kebumian mempercayai kebenaran tentang hipotesa
Pengapungan Benua.
Gambar 2-10 Sebaran lapisan es di belahan bumi
bagian selatan pada 250 – 300 juta tahun yang lalu serta sebaran fosil
Lystrosaurus dijumpai di benua-benua Afrika, India, dan Antartika; fosil
Glossopteris dijumpai di benua benua Amerika Selatan, Afrika, India, Antartika,
dan Australia.
5. Pengapungan Benua dan Paleomagnetisme :
Ketika pertama kali hipotesa
Pengapungan Benua dikemukakan oleh Wegener, yaitu pada periode 1930 hingga awal
tahun 1950-an, bukti-bukti yang mendukung hipotesa ini sangat minim sekali.
Adapun perhatian terhadap hipotesa ini baru terjadi ketika penelitian mengenai
penentuan Intensitas dan Arah medan magnet bumi. Setiap orang
yang pernah menggunakan kompas tahu bahwa medan magnet bumi mempunyai kutub,
yaitu kutub utara dan kutub selatan yang arahnya hampir berimpit dengan arah
kutub geografis bumi. Medan magnet bumi juga mempunyai kesamaan dengan yang
dihasilkan oleh suatu batang magnet, yaitu menghasilkan garis-garis imaginer
yang berasal dari gaya magnet bumi yang bergerak melalui bumi dan menerus dari
satu kutub ke kutub lainnya. Jarum kompas itu sendiri berfungsi sebagai suatu
magnet kecil yang bebas bergerak di dalam medan magnet bumi dan akan ditarik ke
arah kutub-kutub magnet bumi.
Suatu metoda yang dipakai untuk
mengetahui medan magnet purba adalah dengan cara menganalisa beberapa batuan
yang mengandung mineral-mineral yang kaya unsur besinya yang dikenal sebagai
fosil kompas. Mineral yang kaya akan unsur besi, seperti magnetite banyak terdapat
dalam aliran lava yang berkomposisi basaltis. Saat suatu lava yang berkomposisi
basaltis mendingin (menghablur) dibawah temperatur Curie (± 5800 C),
maka butiran butiran yang kaya akan unsur besi akan mengalami magnetisasi
dengan arah medan magnet yang ada pada saat itu. Sekali batuan tersebut membeku
maka arah kemagnetan (magnetisasi) yang dimilikinya akan tertinggal di dalam
batuan tersebut. Arah kemagnetan ini akan bertindak sebagai suatu kompas ke
arah kutub magnet yang ada. Jika batuan tersebut berpindah dari tempat asalnya,
maka kemagnetan batuan tersebut akan tetap pada arah aslinya. Batuan batuan
yang terbentuk jutaan tahun yang lalu akan merekam arah kutub magnet pada saat
dan tempat dimana batuan tersebut terbentuk, dan hal ini dikenal sebagai Paleomagnetisme.
Penelitian mengenai arah kemagnetan
purba pada aliran lava yang diambil di Eropa dan Asia pada tahun 1950-an
menunjukkan bahwa arah kemagnetan untuk batuan batuan yang berumur muda cocok
dengan arah medan magnet bumi saat ini, akan tetapi arah kemagnetan (magnetic
alignment) pada aliran lava yang lebih tua ternyata menunjukkan arah kemagnetan
yang sangat bervariasi dengan perbedaan yang cukup besar. Berdasarkan hasil
ploting dari posisi yang terlihat sebagai kutub magnet utara untuk benua Eurasia
meng-indikasikan bahwa selama 500 juta tahun yang lalu, lokasi – lokasi dari
kutub utara magnet bumi secara berangsur berpindah pindah. Hal ini merupakan
bukti kuat bahwa kutub magnet bumi telah mengalami berpindahan / bermigrasi.
Perpindahan arah kutub magnet ini dikenal sebagai “Pole Magnetic Wandering”
yaitu arah kutub magnet yang berkelana/berpindah pindah. Sebaliknya apabila
arah kutub magnet dianggap tetap pada posisi seperti saat ini maka
penjelasannya adalah bahwa benua yang mengalami perpindahan atau pengapungan.
Semua bukti-bukti ilmiah tersebut
meng-indikasikan bahwa posisi rata-rata dari kutub kutub magnet erat kaitannya
dengan posisi kutub geografis bumi. Dengan demikian, jika posisi kutub-kutub
magnet relatif tetap pada posisinya, maka kutub-kutub yang terlihat berpindah
pindah dapat dijelaskan dengan hipotesa Pengapungan Benua. Beberapa tahun
kemudian, suatu kurva dari kenampakan kutub-kutub magnet yang berpindah pindah
juga dilakukan untuk benua Amerika Utara. Apabila diperbandingkan hasil dari
kedua jalur perpindahan kutub magnet bumi, baik yang ada di Amerika Utara dan
Eurasia memperlihatkan kesamaan dan kemiripan dari jalur perpindahan kutub
kutub magnet bumi tersebut yang terpisah dengan sudut 300. (gambar
2-11)
Gambar 2-11 Dua kurva Perpindahan Arah Kutub
Utara Magnet Bumi (north magnetic pole wandering) hasil analisa batuan lava
yang berasal dari dua benua, yaitu benua Amerika Utara dan benua Eropa.
Bagaimana
para ahli kebumian menjelaskan adanya 2 (dua) perbedaan dari kurva perpindahan
kutub kutub magnet yang teramati tersebut. Apakah mungkin ada 2 kutub magnet?
Penjelasan yang lebih masuk akal adalah dengan menganggap bahwa kutub mempunyai
posisi yang tetap, sementara benua-benua mengalami perpindahan. Data
paleomagnetisme dari batuan batuan yang berumur 200 juta tahun di Amerika Utara
dan Eurasia menunjukkan adanya 2 kutub magnet utara yang terletak pada jarak
beberapa ribu kilometer dari kutub geografi saat ini. Dengan cara mengembalikan
ke posisi semula melalui Pengapungan Benua, maka benua-benua tersebut akan
menyatu sebagai bagian dari super-kontinen Pangaea pada 200 juta tahun yang
lalu.
Gambar 2-12 Kurva dari perpindahan kutub utara
magnet bumi berdasarkan hasil analisa arah kemagnetan purba yang terekam dalam
batuan lava yang berasal dari hasil analisa batuan-batuan di benua Eropa dan
Asia serta batuan-batuan yang berasal dari benua Amerika Utara. Kedua kurva perpindahan kutub utara magnet bumi membentuk sudut 300 dan apabila
dianggap arah kutub utara bumi tetap ditempatnya, maka dengan cara mennyatukan
ke dua kurva tersebut dapat menjelaskan adanya perpindahan / pemisahan benua -
benua seperti posisi saat ini.
2.6.2. Hipotesa Pemekaran Lantai Samudra (Sea Floor
Spreading Hypothesis)
Harry Hammond Hess (24 Mei 1906 - 25 Agustus 1969)
adalah seorang ahli geologi laut
yang bekerja sebagai perwira angkatan laut Amaerika pada perang dunia ke 2.
Pada tahun 1934 bergabung dengan Universitas Princeton yang kemudian menjadi
ketua departemen geologi.
Pada
tahun 1960 Harry Hess mengemukakan hipotesa pemekaran lantai samudra dalam
tulisannya yang berjudul “Essay in
geopoetry describing evidence for
sea-floor spreading”. Dalam tulisannya diuraikan mengenai bukti-bukti adanya pemekaran lantai
samudra yang terjadi di pematang tengah samudra (mid oceanic ridges), Guyots, serta umur kerak samudra yang lebih
muda dari 180 juta tahun.
Hipotesa
pemekaran lantai samudra pada dasarnya adalah suatu hipotesa yang menganggap
bahwa bagian kulit bumi yang ada didasar samudra Atlantik tepatnya di Pematang
Tengah Samudra mengalami pemekaran yang diakibatkan oleh gaya tarikan
(tensional force) yang digerakan oleh arus konveksi yang berada di bagian
mantel bumi (astenosfir). Akibat dari pemekaran yang terjadi disepanjang sumbu
Pematang Tengah Samudra, maka magma yang berasal dari astenosfir kemudian naik
dan membeku. Pergerakan lantai samudra (litosfir) ke arah kiri dan kanan di
sepanjang sumbu pemekaran Pematang Tengah Samudra lebih disebabkan oleh arus
konveksi yang berasal dari lapisan mantel bumi (astenosfir). Arus konveksi
inilah yang menggerakan kerak samudra (lempeng samudra) yang berfungsi sebagai
ban berjalan (conveyor-belt). Gambar 2-13 memperlihatkan ilustrasi dari
pemekaran lantai samudra oleh arus konveksi yang adadi lapisan astenosfir.
Gambar
2-13 Arus
konveksi yang menggerakan lantai samudra (litosfir), pembentukan material baru
di Pematang Tengah Samudra (Midoceanic ridge) dan penyusupan lantai samudra
kedalam interior bumi (astenosfir) pada zona subduksi.
Hipotesa pemekaran lantai samudra
didukung juga oleh bukti-bukti dari data-data hasil pengukuran kemagnetan purba
(paleomagnetism) dan penentuan umur batuan (rock-dating). Kemagnetan purba
adalah studi tentang polaritas arah magnet bumi yang terekam oleh mineral yang
ada dalam batuan saat batuan tersebut membeku (gambar 2-14).
Gambar
2-14 Perekaman arah magnet pada batuan
lava ketika pembentukan lava dengan selang waktu 400.000 tahun
. Sebagaimana
diketahui bahwa mineral-mineral yang menyusun batuan, seperti mineral magnetit
akan merekam arah magnet-bumi saat mineral tersebut terbentuk, yaitu pada
temperatur lebih kurang 5800 Celcius (temperatur Currie). Hasil
studi kemagnetan purba yang dilakukan terhadap sampel batuan yang diambil di
bagian Pematang Tengah Samudra hingga ke bagian tepi benua menunjukkan
terjadinya polaritas arah magnet bumi yang berubah rubah (normal dan reverse)
dalam selang waktu setiap 400.000 tahun sekali (gambar 2-15 dan gambar 2-16).
Polaritas arah magnet bumi yang terekam pada batuan punggung tengah samudra
dapat dipakai untuk merekontruksi posisi dan proses pemisahan antara benua
Amerika dan Afrika yang semula berimpit dan data ini didukung oleh hasil
penentuan umur batuan yang menunjukkan umur yang semakin muda ke arah pematang
tengah samudra. Hal lain yang perlu diketahui dari hipotesa pemekaran lantai
samudra adalah bahwa ternyata volume bumi tetap dan tidak semakin besar dengan
bertambah luasnya lantai samudra dan hal ini berarti bahwa harus ada di bagian
lain dari kulit bumi dimana kerak samudra mengalami penyusupan kembali ke dalam
perut bumi.
Gambar
2-15 Kenampakan
Pematang Tengah Samudra (Mid Oceanic Ridge) yang berada di Samudra Atlantik
Gambar
2-16 Proses pembentukan material baru
dan periode polaritas arah magnet bumi yang terekam pada batuan dasar lantai
samudra sejak 3.6 milyar tahun lalu (atas) hingga saat ini (bawah)
2.6.3. Teori Tektonik Lempeng
Teori tektonik lempeng adalah suatu
teori yang menjelaskan mengenai sifat-sifat bumi yang mobil/dinamis yang
disebabkan oleh gaya endogen yang berasal dari dalam bumi. Dalam teori tektonik
lempeng dinyatakan bahwa pada dasarnya kerak-bumi (litosfir) terbagi dalam 13
lempeng besar dan kecil. Adapun lempeng-lempeng tersebut terlihat pada gambar
2-17 sebagai berikut:
1). Lempeng Pasific (Pasific
plate),
2). Lempeng Euroasia (Eurasian
plate),
3). Lempeng India-Australia (Indian-Australian plate),
4). Lempeng Afrika (African
plate),
5). Lempeng Amerika Utara (North American plate),
6). Lempeng Amerika Selatan (South American plate),
7). Lempeng Antartika (Antartic
plate)
serta beberapa lempeng kecil seperti
:
1). Lempeng Nasca (Nasca
plate),
2). Lempeng Arab (Arabian
plate), dan
3). Lempeng Karibia (Caribian
plate).
4). Lempeng Philippines (Phillippines plate)
5). Lempeng Scotia (Scotia plate)
6). Lempeng Cocos (Cocos plate)
Gambar
2-17
Lempeng-lempeng utama litosfir
Batas-batas dari ke 13 lempeng
tersebut diatas dapat dibedakan berdasarkan interaksi antara lempengnya sebagai
berikut (gambar 2-18):
(1). Batas
Konvergen: Batas
konvergen adalah batas antar lempeng yang saling bertumbukan. Batas lempeng konvergen dapat berupa
batas Subduksi (Subduction) atau
Obduksi (Obduction). Batas subduksi adalah batas lempeng yang berupa tumbukan
lempeng dimana lsalah satu empeng menyusup ke dalam perut bumi dan lempeng
lainnya terangkat ke permukaan (gambar 2-19 bawah). Contoh batas lempeng
konvergen dengan tipe subduksi adalah Kepulauan Indonesia sebagai bagian dari
lempeng benua Asia Tenggara dengan lempeng samudra Hindia–Australia di sebelah
selatan Sumatra-Jawa-NTB dan NTT. Batas kedua lempeng ini berupa suatu zona
subduksi yang terletak di laut yang berbentuk palung (trench) yang memanjang
dari Sumatra, Jawa, hingga ke Nusa Tenggara Timur. Contoh lainnya adalah
kepulauan Philipina, sebagai hasil subduksi antara lempeng samudra Philipina
dengan lempeng samudra Pasifik.
Obduksi adalah batas lempeng yang merupakan hasil tumbukan lempeng benua
dengan benua yang membentuk suatu rangkaian pegunungan (gambar 2-19 atas).
Contoh batas lempeng tipe obduksi adalah pegunungan Himalaya yang merupakan
hasil tumbukan lempeng benua India dengan lempeng benua Eurasia.
Gambar
2-18 Batas-batas lempeng: Konvergen
(atas), Divergen (tengah)
dan Transforms (bawah).
Gambar 2-19 Jenis Batas
Konvergen: Obduction /
Obduksi (atas) dan
Subduction / Subduksi (bawah)
(2). Batas
Divergen: Batas
divergen adalah batas antar lempeng yang saling menjauh satu dan lainnya. Pemisahan ini disebabkan
karena adanya gaya tarik (tensional force) yang mengakibatkan naiknya magma
kepermukaan dan membentuk material baru berupa lava yang kemudian berdampak
pada lempeng yang saling menjauh. Contoh yang paling terkenal dari batas
lempeng jenis divergen adalah Punggung Tengah Samudra (Mid Oceanic Ridges) yang berada di dasar samudra Atlantik,
disamping itu contoh lainnya adalah rifting yang terjadi antara benua Afrika
dengan Jazirah Arab yang membentuk laut merah (gambar 2-20).
(3). Batas
Transform: Batas
transform adalah batas antar lempeng yang saling berpapasan dan saling bergeser satu dan lainnya
menghasilkan suatu sesar mendatar jenis Strike
Slip Fault. Contoh batas lempeng jenis transforms adalah patahan San
Andreas di Amerika Serikat yang merupakan pergeseran lempeng samudra Pasifik
dengan lempeng benua Amerika Utara.
Berdasarkan
teori tektonik lempeng, lempeng-lempeng yang ada saling bergerak dan
berinteraksi satu dengan lainnya. Pergerakan lempeng lempeng tersebut juga
secara tidak langsung dipengaruhi oleh rotasi bumi pada sumbunya. Sebagaimana diketahui
bahwa kecepatan rotasi yang terjadi bola bumi akan akan semakin cepat ke arah
ekuator. Pada gambar 2-20 Interaksi antar lempeng dapat saling mendekat
(konvergen), saling menjauh (divergen) dan saling berpapasan (transform).
Gambar 2-20 Batas Lempeng Divergen (East African
Rift dan Laut Merah)
Batas
Lempeng Transform Patahan San Andreas
2.6.4. Tatanan Tektonik (Tectonic
Setting)
Tatanan tektonik yang ada disuatu
wilayah sangat dipengaruhi oleh posisi tektonik yang bekerja di wilayah
tersebut. Sebagaimana sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, interaksi antar
lempeng yang terjadi pada batas-batas lempeng konvergen, divergen dan transform
akan menghasilkan tatanan tektonik tertentu (gambar 2-21).
Gambar 2-21 Tatanan Tektonik pada Batas Lempeng
Divergen, Batas Lempeng Konvergen, dan Batas Lempeng Transform
Tatanan tektonik yang terjadi pada
batas lempeng konvergen, dimana lempeng samudra dan lempeng samudra saling
bertemu akan menghasilkan suatu rangkaian busur gunungapi (volcanic arc) yang
arahnya sejajar / simetri dengan arah palung (trench). Cekungan Busur Belakang
(Back Arc Basin) berkembang dibagian belakang busur gunungapi (gambar 2-22).
Contoh kasus dari model ini adalah rangkaian gunungapi di kepulauan Philipina
yang merupakan hasil tumbukan lempeng laut Philipina dengan lempeng samudra
Pasifik.
Gambar
2-22 Tatanan Tektonik pada Batas Lempeng
Konvergen (lempeng samudra dan lempeng samudra)
Pada
batas lempeng konvergen, dimana terjadi tumbukan antara lempeng samudra dan
lempeng benua (gambar 2-23), maka tatanan tektoniknya dicirikan oleh Palung
(Trench), Prisma Akresi (Accretion Prism), Cekungan Busur Muka (Forearc Basin),
Busur Kepulauan Gunungapi (Volcanic Island Arc), dan Cekungan Busur Belakang
(Backarc Basin).
Gambar 2-23
Komponen komponen pada Zona Subduksi (lempeng samudra dan lempeng benua) :
Palung (Trench), Struktur Tinggian / Prisma Akresi (Structural High); Cekungan
Busur Muka (Forearc Basin), Jalur Busur Gunungapi (Volcanic Arc); dan Cekungan
Busur Belakang (Backarc Basin.
Contoh klasik dari batas lempeng
konvergen, dimana terjadi tumbukan antara lempeng samudra dan lempeng benua
adalah kepulauan Indonesia, khususnya jalur pulau-pulau: Sumatra, Jawa, Bali,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan berakhir di kepulauan Banda. Pada
gambar 2-24 diperlihatkan batas konvergensi antara lempeng India-Australia dan
lempeng benua Eurasia (pulau Sumatra). Kedua lempeng dibatasi oleh suatu lajur
yang dikenal sebagai Palung Laut Subduksi (Subduction Trench) yang merupakan
hasil subduksi antara kedua lempeng tersebut diatas, sedangkan gambar 2-25
memperlihatkan tatanan tektonik pulau Sumatra yang tersusun dari Prisma
Akrasi/Accretionary Wedge (Pulau Siemelue, P.Nias, P. Telo, P.Engganau, P.
Batu, P. Mentawai); Cekungan Busur Luar / Muka (Forearc Basin); Busur Gunungapi
(Volcanic Arc) dan Cekungan Busur Belakang (Backarc Basin).
Gambar
2-24
Batas Lempeng Konvergen (Lempeng Benua India-Australia dan Lempeng Benua
Eurasia diwakili oleh pulau Sumatra)
Gambar
2-25 Tatanan
Tektonik Pulau Sumatra: Palung Sunda (Sunda Trench), Jalur Prisma Akresi (P.Simelue, P.
Nias, P. Nias, P.
Enggano), Cekungan
Busur Muka
(Forearc Basin), Jalur
Gunungapi (Volcanic Arc),
dan Cekungan Busur Belakang (Backarc Basin).
Batas lempeng konvergen yang berupa
batas suture dapat kita lihat antara pertemuan lempeng benua India dengan
lempeng benua Eurasia. Kedua lempeng tersebut dibatasi oleh suatu jalur pegunungan
yang dikenal dengan pegunungan Himalaya. Pada gambar 2-26 ditandai oleh garis
warna biru.
Gambar 2-26 Zona
Suture sebagai batas lempeng konvergen (Lempeng Benua India dan Lempeng Benua
Eurasia) Tatanan tektonik pada batas lempeng Divergen, dimana lempeng benua
mengalami pemekaran (continental rifting) dengan terbentuknya laut baru dapat
kita lihat terutama di Pematang Tengah Samudra (Pemisahan Benua Amerika dan
Afrika), Laut Merah (Benua Afrika dan Semenanjung Sinai / Jazirah Arab) serta
Rifting yang terjadi di Afrika Timur Bagian Utara (gambar 2-27).
Pembentukan rift di benua Afrika Timur Bagian Utara (Ethiopian Rift; East
African Rift)
2.7. Orogenesa
Sebagaimana
diketahui bahwa sifat bumi yang dinamis digerakan oleh energi yang berasal dari
dalam bumi (gaya endogen) yang merubah struktur kulit bumi melalui proses
deformasi, yaitu melalui gempabumi, volkanisme, orogenesa, dan epirogenesa.
Bentuk-bentuk bentangalam yang
nampak mencuat tinggi secara tiba tiba dari dataran rendah disekitarnya tidak
lain merupkan hasil dari proses orogenesa. Kata orogenesa sendiri berasal dari
bahasa latin, yaitu Oros = Pegunungan
dan Gennao = menghasilkan. Dengan
demikian orogenesa berarti pembentukan pegunungan. Sebagaimana diketahui bahwa
deformasi kerakbumi (batuan) dan pembentukan pegunungan umumnya terjadi pada
wilayah wilayah yang berada pada batas interaksi lempeng.
Menurut Gilbert (1890) orogenesa
adalah pergeseran pergeseran yang berlangsung dalam kerak bumi yang
menghasilkan rangkaian pegunungan. Sebagai contoh, pegunungan “Rocky Mountain”
dan pegunungan “Cordillera” di Amerika Utara, sebagai hasil interaksi konvergen
antara lempeng Pasifik dan Lempeng Amerika Utara, dan pegunungan “Andes” di
Amerika Selatan sebagai hasil interaksi antara lempeng Pasifik (Nazca) dengan
lempeng Amerika Selatan (Gambar 2-28 dan 2-29).
Gambar 2-28 Pembentukan pegunungan di Amerika
Utara dan Amerika Selatan sebagai hasil konvergensi lempeng
Gambar 2-29 Pegunungan
Rocky Mountains sebagai produk konvergensi lempeng Pasifik dan lempeng Amerika
Utara sedangkan pegunungan Andes merupakan hasil konvergensi lempeng Pasifik
(Nazca) dengan lempeng Amerika Selatan.
Apabila kita perhatikan sebaran dari
rangkaian pegunungan yang terdapat di permukaan bumi, maka akan terlihat suatu
rangkaian pegunungan yang mengitari laut Pasifik yang dikenal dengan sirkum
Pasifik dan yang tersebar disepanjang Mediterania. Pada gambar 2-34 terlihat
sebaran jalur orogen di dunia (warna coklat).
Gambar 2-30 Jalur
Orogen di Dunia (warna coklat) : Sirkum Pasifik (Peg. Andes-Peg. Cordillera-Alaska-Semenanjung-Kamsatka-Korea-Jepang-Filipina-Tasmania)
dan Rangkaian Pegunungan Mediterania (Peg. Appalachian - Peg. Caledonia - Peg.
Alpen - Peg. Himalaya - Kep. Busur Gunungapi Indonesia-Laut Banda).
Sifat sifat umum dari suatu jalur orogen adalah:
1.
Terdiri
dari lapisan lapisan sedimen tebal yang terlipat dengan arah sumbu lipatan yang
berbeda beda (gambar 2-31).
2.
Dicirikan
oleh proses deformasi yang berlangsung berkali kali
3. Merupakan pengaruh dari berbagai
proses yang berbeda-beda, termasuk intrusi dan gejala pelengseran gaya berat,
yang bekerja pada suatu bahan yang berlainan sifat dan kedalamannya (gambar
2-32).
Gambar 2-31 Sumbu perlipatan yang berbeda beda
dan ketidak selarasan.
Gambar 2-32 Pelengseran
gaya berat, perlipatan dan pensesaran
Menurut Stille (1920), orogenesa
adalah perubahan yang terjadi secara episodik pada pola batuan. Disini secara
jelas dinyatakan adanya suatu faktor waktu kejadian atau peristiwa, disamping
juga berlangsungnya suatu proses. Haarmann (1930) menyatakan bahwa pembentukan
pegunungan sebagai pembentukan bentuk tinggian tentang alam di permukaan bumi,
sedangkan Upham (1984) menekankan peran proses pembentukan pegunungan oleh
gejala perlipatan, patahan dan pensesaran yang menyebabkan terbentuknya
punggungan punggungan yang sempit yang terangkat. Dengan kata lain bahwa setiap
pembahasan tentang orogenesa, harus dijelaskan dengan menerapkan konsep tegasan
pada kerak bumi untuk proses fisiknya, serta perubahan perubahan fisiografi
yang ditimbulkannya (gambar 2-33).
Gambar
2-33 Peran
dari proses pembentukan pegunungan yang disebabkan oleh konsep tegasan.
Setiap
gejala orogenesa akan ditandai oleh suatu proses perlipatan atau pengangkatan
yang menghasilkan gejala ketidak-selarasan bersudut. Sifat umum suatu jalur
orogen ditandai oleh poros lipatan yang berbeda beda dan ketidak selarasan.
Orogen yang telah diketahui lokasi dan waktu terjadinya, lazimnya akan diberi
nama. Ada beberapa cara yang diterapkan untuk menentukan umur atau waktu
berlangsungnya suatu orogen, antara lain: (1). Dengan cara menentukan umur gejala
ketidak selarasan; (b). Umur Radiometrik; (c). Umur Batuan Metamorfis; dan (d).
Endapan-endapan produk orogen (sedimen flysch atau mollase).
Zona dimana telah berlangsung
terjadinya gejala orogenesa adalah suatu wilayah yang sebelumnya merupakan suatu
cekungan panjang, sempit yang mempunyai endapan sedimen yang tebal. Geosinklin
adalah suatu struktur lekukan yang sangat sangat panjang dimana di dalamnya
diendapkan sedimen yang sangat tebal.
2.8. Vulkanisme
Istilah vulkanisme berasal dari kata
latin vulkanismus nama dari sebuah
pulau yang legendaris di Yunani. Tidak ada yang lebih menakjubkan diatas muka
bumi ini dibandingkan dengan gejala vulkanisme dan produknya, yang
pemunculannya kerapkali menimbulkan kesan-kesan religiuos. Letusannya yang
dahsyat dengan semburan bara dan debu yang menjulang tinggi, atau keluar dan
mengalirnya bahan pijar dari lubang dipermukaan, kemudian bentuk kerucutnya
yang sangat mempesona, tidak mengherankan apabila dimasa lampau dan mungkin
juga sekarang masih ada sekelompok masyarakat yang memuja atau
mengkeramatkannya seperti halnya di pegunungan Tengger (Gn.berapi Bromo) di
Jawa Timur.
Vulkanisme dapat didefinisikan
sebagai tempat atau lubang diatas muka Bumi dimana daripadanya dikeluarkan
bahan atau bebatuan yang pijar atau gas yang berasal dari bagian dalam bumi ke
permukaan, yang kemudian produknya akan disusun dan membentuk sebuah kerucut
atau gunung (gambar 2-34).
Gambar 2-34 Kerucut
gunungapi yang disusun oleh perselingan pyroclastic dan aliran lava
Adapun sejumlah bahan-bahan yang
dikeluarkan melalui lubang, yang kemudian dikenal sebagai pipa kepundan,
terdiri dari pecahan-pecahan batuan yang tua yang telah ada sebelumnya yang
membentuk tubuh gunung-berapi, maupun bebatuan yang baru samasekali yang
bersumber dari magma di bagian yang dalam dari litosfir yang selanjutnya
disemburkan oleh gas yang terbebas. Magma tersebut akan dapat keluar mencapai
permukaan bumi apabila geraknya cukup cepat melalui rekahan atau patahan dalam
litosfir sehingga tidak ada waktu baginya untuk mendingin dan membeku.
Terdapat dua sifat dari magma yang
dapat memberikan potensi untuk bertindak demikian, dan itu adalah pertama kadar
gas yang ada didalam magma dan yang kedua adalah kekentalannya. Sebab sebab
terjadinya vulkanisme adalah diawali dengan proses pembentukan magma dalam
litosfir akibat peleburan dari batuan yang sudah ada, kemudian magma naik
kepermukaan melalui rekahan, patahan dan bukaan lainnya dalam litosfir menuju
dan mencapai permukaan bumi (gambar 2-35).
Gambar 2-35 Proses terjadinya vulkanisme
melalui tumbukan lempeng yang menghasilkan magma dan kemudian naik kepermukaan
bumi melalui rekahan, patahan atau bukaan
Wilayah-wilayah
sepanjang batas lempeng dimana dua lempeng litosfir saling berinteraksi akan
merupakan tempat yang berpotensi untuk terjadinya gejala vulkanisma. Gejala
vulkanisma juga dapat terjadi ditempat-tempat dimana astenosfir melalui pola
rekahan dalam litosfir naik dengan cepat dan mencapai permukaan. Tempat-tempat
seperti itu dapat diamati pada batas lempeng litosfir yang saling memisah-diri
seperti pada punggung tengah samudra, atau pada litosfir yang membentuk lantai
samudra.
Tidak
semua gunung-berapi yang sekarang ada dimuka Bumi ini, memperlihatkan
kegiatannya dengan cara mengeluarkan bahan-bahan dari dalam Bumi. Untuk itu
gunungapi dikelompokan menjadi gunung berapi aktip, hampir berhenti dan
gunung-berapi yang telah mati. Gunung-berapi yang digolongkan kedalam yang
hampir mati, adalah gunung-gunung-berapi yang tidak memperlihatkan kegiatannya
saat ini, tetapi diduga bahwa gunungapi itu kemungkinan besar masih akan aktip
dimasa mendatang. Biasanya gunung-berapi ini memperlihatkan indikasi-indikasi
kearah bangunnya kembali, seperti adanya sumber panas dekat permukaan yang
menyebabkan timbulnya sumber dan uap air panas, dll. Gunung-berapi yang telah
mati atau punah adalah gunung-berapi yang telah lama sekali tidak menunjukkan
kegiatan dan juga tidak memperlihatkan tanda-tanda kearah itu.
2.8.1. Erupsi Gunungapi.
Gunung berapi disamping merupakan
gejala geologi yang berupa keluarnya bahan-bahan yang bersumber dari magma,
baik itu yang berwujud sebagai gas, lelehan maupun benda padat berupa
fragmen-fragmen batuan ke permukaan Bumi, dinamakan erupsi atau erupsi
gunung-berapi. Erupsi dapat dikelompokan berdasarkan :
Jenis bahan yang dikeluarkan melalui
lubang kepundan, atau lokasi dari tempat keluarnya bahan-bahan dari magma.
Berdasarkan jenis bahan yang dikeluarkan, kita mengenal sebutan erupsi efusip
apabila bahan yang dikeluarkan hampir seluruhnya terdiri dari lelehan magma
yang disebut lava. Sedangkan sebutan erupsi piroklastik, apabila bahan yang
dikeluarkan sebagian besar terdiri dari fragmen-fragmen batuan, abu dan gas.
Erupsi juga dapat dikelompokan
berdasarkan lokasi atau letak serta bentuk dari tempat keluarnya bahan-bahan
magma dari dalam Bumi. Keluarnya bahan-bahan tersebut dapat melalui suatu
lubang dipermukaan Bumi yang dihubungkan dengan pipa kedalam magma, atau suatu
rekahan yang mencapai tempat berhimpunnya magma.
Untuk ini dikenali adanya 2 (dua)
tipe erupsi, yaitu: (1). Erupsi sentral, apabila tempat keluarnya bahan-bahan
itu berupa lubang yang yang dihubungkan dengan pipa, atau kepundan, dan berada
di bagian tengah dari tubuh gunung-berapi; (2). Erupsi rekahan, apabila
bahan-bahan berasal dari magma dikeluarkan melalui rekahan dalam kerak bumi
yang bentuknya memanjang.
Rekahan seperti itu terjadi sebagai
akibat dari gejala regangan pada kerak yang sedang memisah diri. Bahan yang
dikeluarkan melalui erupsi seperti ini umumnya berupa lelehan pijar dari magma
atau lava. Meskipun pada umumnya bentuk erupsi sentral yang terdapat pada
gunung-berapi terutama didarat berbentuk lubang yang dihubungkan dengan pipa,
namun tidak tertutup kemungkinan juga dapat berupa rekahan. Umumnya lokasi
erupsi berlangsung pada bagian tengah puncak gunung-berapi, tetapi
kadang-kadang juga terjadi pada bagian lereng. Dan apabila ini yang terjadi,
maka gejala tersebut dinamakan “flank” atau “lateral eruption”.
Adapula erupsi gunung-berapi terjadi
pada pada bagian kaki gunung-berapi, maka erupsi seperti itu dinamakan erupsi
eksentrik atau erupsi parasitik. Erupsi yang berlangsung pada bagian puncak
dinamakan juga erupsi terminal, sedangkan yang terjadi pada bagian lereng
disebut sub-terminal. Keduanya selalu dianggap sebagai erupsi puncak, dimana
yang sub-terminal merupakan pemisahan saja dari erupsi terminal. Erupsi puncak
tidak akan menyebabkan penurunan terhadap kedudukan dari dapur magma, sedangkan
erupsi eksentrik justru akan menyebabkan peningkatan kegiatan gas dibagian
puncaknya.
2.8.2. Gerak dari Bahan Bahan
Piroklastika
Bahan piroklastika yang dikeluarkan
saat terjadinya erupsi gunung-berapi, selanjutnya dapat dialirkan dari pusatnya
kewilayah sekitar gunung-berapi dengan media gas yang keluar bersama
piroklastik, atau melalui media air meteorik. Dengan bantuan media gas : Awan
panas atau “glowing avalance” atau “nu’ee ardente”. Sifat-sifat fisik dan
karakteristik dari awan panas ini dipelajari dari erupsi gunungapi Mt.Pele’e di
Kepulauan Martinique yang terjadi pada bulan Mei 1902, yang telah menghancurkan
kota pantai St.Pierre dan menewaskan hampir 30.000 penduduknya. Karena bentuk
awannya yang saat itu sangat menonjol, maka fenomena tersebut diberi nama “awan
pijar”, yang sebenarnya adalah teridiri dari fragmen-fragmen pijar yang
mengalir dengan kecepatan tinggi melalui lembah sebagaimana halnya aliran lava
atau air.
Awan yang terlihat sebenarnya adalah
hanya debu yang naik keudara dari aliran tersebut. Karena itu istilah awan
akhir-akhir ini cenderung untuk dirubah menjadi “glowing avalance”. Kecepatan
laju awan panas yang menghampiri kota St.Pierre, diperkirakan mencapai 150 Km
per jam. Di Indonesia gunung-berapi yang juga dilaporkan menyemburkan awan
panas adalah G. Merapi di Jawa-Tengah. Disini awan panas karena warnanya yang
putih dan turun mengikuti lereng, dinamakan “wedus gembel”. Berdasarkan
penelitian-penelitian yang dilakukan setelah kejadian tersebut, yang juga
melibatkan gunung-gunungapi lainnya yang memperlihatkan erupsi seperti itu.
Letusan dari Gunung-berapi Soufriere yang terletak berdekatan dengan Pulau
St.Vincent, juga memperlihatkan fenomena yang sama seperti di Mt.Pele’e.
Kemudian Neumann van Padang (1933) juga melaporkan kejadian yang sama pada
letusan Gunung Merapi di P.Jawa tahun 1930.
Berdasarkan penelitian terhadap
bahan yang diendapkan oleh awan panas, ternyata sebagian besar
fragmen-fragmennya ternyata terdiri dari batuan yang baru membeku dari magma.
Hanya sedikit sekali, kurang dari 5% yang diperkirakan berasal dari batuan yang
telah ada dari dinding atau pipa kepundannya. Dari pengamatan tersebut kemudian
disimpulkan bahwa pada saat terjadi erupsi, sejumlah gas yang berada dalam
magma membebaskan diri dan mengembang menyelimuti setiap bagian dari fragmen
padat dan sebagain lagi mungkin magma yang masih cair dan pijar, sehingga dapat
bergerak dengan kecepatan tinggi dan dengan suhu yang tinggi pula. Agak berbeda
dengan yang digambarkan oleh NEUMANN van PADANG mengenai hasil letusan awan
panas di Gunung-berapi Merapi di Jawa-Tengah pada tahun 1930. Menurutnya,
sebahagian besar fragmen yang ada didalam awan panas adalah berasal dari batuan
tua, dan hanya sedikit sekali merupakan yang merupakan lava yang baru. Demikian
pula yang terjadi pada letusan gunung-berapi Stromboli pada tahun 1930, dimana
seluruh massa awanpanas adalah bebatuan pijar berasal dari dinding kepundan.
Didasarkan kepada cara-cara mekanisma keluarnya awan panas dari kepundan, dapat
dibedakan adanya tiga tipe, yaitu : (a)
Tipe Pele’e, (b) Tipe Soufriere, dan (c) Tipe Merapi
A.
Tipe Pele’e:
LACROAIX (orang yang memberi nama
“nue ardente”), melihat adanya bukti bahwa semburan awal dari bahan dari awan
panas itu arahnya horisontal yang juga memberikan tekanan terhadap awan panas
yang terjadi. Selanjutnya dari laporan tertulis yang dibuat oleh F.A.PERRET
(1930) pada letusan Gunung-berapi Pe’lee yang terjadi pada tahun 1930 meskipun
awan panasnya lebih kecil dari letusan tahun 1902, dia menemukan bukti-bukti
baru yang dapat mengungkapkan bagaimana mekanisma gerak awan panas yang
dihasilkan gunung-berapi tersebut. Dia yakin bahwa pembentukannya diawali oleh
suatu letusan yang menyemburkan bahannya melalui suatu sudut yang kecil.
Menurut pengamatannya, “nue ardente” yang terjadi adalah letusan dari lava itu
sendiri yang terarah. Sumber lava yang terkumpul dibawah kubah secara-diam-diam
akan menghimpun energi. Apabila kemudian meletus, maka ia akan menyembur
melalui bagian yang lemah dibawah kubah dan mengarah horisontal menyapu lembah,
bukit, menuruni lereng dan menyebar seperti kipas.
B.
Tipe Soufriere :
Letusan yang terjadi pada
gunung-berapi Soufriere yang melanda St.Vincent sifatnya agak berbeda dengan
yang terlihat di gunung-berapi Pe’lee. Seperti halnya di St.Pierre, awan panas
juga keluar dari lubang kepundan dan menuju ke lembah-lembah disekitarnya.
Sebelum terjdi letusan, pada bagian puncak gunug-berapi ini terdapat kepundan
dimana dasarnya ditutupi oleh danau yang dalamnya lebih dari 150 meter. Lereng
gunug-berapi ini agak landai dengan rata-rata sudut 15 °. Sifat letusannya agak berbeda dengan yang teramati di
gunung-berapi Pe’lee. Suhunya lebih rendah dan letusannya juga agak lemah
Kemudian awan yang disemburkan menuju kesegala arah (tidak pada arah tertentu
seperti di St.Pierre), dan bahkan keatas kaldera. Bahan yang dibawanya
sebhagian besar berukuran pasir dengan sedikit sekali yang berukuran lebih
besar apabila dibandingkan dengan gunung-berapi Pe’lee. Disimpulkan bahwa
bahan-bahan panas disemburkan vertikal keatas dan awan panas yang jatuh
kemudian menuruni lereng gunung-berapi.
C. Tipe
Merapi
Para pakar gunung-berapi di Pulau
Jawa, berdasarkan pengamatan-2 yang dilakukan terhadap pola letusan gunung
Merapi, ternyata telah menunjukan adanya jenis mekanisma pembentukan awan panas
lainnya selain dari yang dua diatas. Kubah pada kepundannya terus tumbuh dan
lerengnya menjadi tidak mantap dan mulai runtuh serta menghasilkan
guguran-guguran fragmen pijar melalui lereng gunung-berapi tersebut.
Gunung-gunung-berapi yang mempunyai ciri-ciri yang sama seperti di Merapi,
antara lain yang terjadi pada gunung-berapi Fuego di Guetamala, dan
gunung-berapi Izalco di El Savador. Awan panas pada dasarnya sedikit sekali
atau hampir tidak mengendapkan bahannya di bagian lereng gunung-api tersebut.
Namun mereka mempunyai daya pengikisan yang kuat dan mampu menoreh lembah-lembah.
Pada dinding lembah akan dapat dijumpai goresan-goresan sebagai akibat dari
torehannya. Awan panas umumnya akan mengendapkan bahan-bahannya di bagian yang
landai dibawah setelah kehilangan energinya. Endapannya terdiri dari
pencampuran yang sangat lekat berupa bahan berukuran halus (debu) dan
bongkah-bongkah menyudut dengan garis tengah beberapa meter serta kadang juga
terdapat batu-apung didalamnya.
2.8.3. Tipe-tipe Erupsi Gunungapi
1)
Erupsi efusip: Erupsi efusip berjalan tenang, tidak
disertai letusan-letusan yang dahsyat dan
melibatkan lava yang bersifat basaltis. Umumnya tidak menghasilkan
piroklastik dalam jumlah besar.
2)
Erupsi sentral: Melalui satu lubang utama yang
terletak ditengah, lava basaltis akan mengalir kesegala arah dalam jumlah yang hampir sama. Erupsi-erupsi yang
terjadi berulang kali kemudian akan membangun sebuah gunungapi yang berbentuk
perisai. Gunung-berapi yang terjadi dengan cara seperti ini disebut
gunung-berapi perisai. Gunung-berapi ini mempuyai lereng yang sangat landai
karena lava basaltis yang encer yang mampu mengalir dalam jarak yang jauh dari
sumbernya, sehingga tidak mampu membangun kerucut yang tinggi. Contoh klasik
gunungapi tipe ini dan yang paling banyak dipelajari adalah gunung-berapi yang
membentuk Pulau Hawaii yang terletak di Samudra Pasifik. Pulau Hawaii sendiri
terdiri dari 5 buah gunung-berapi perisai, dimana yang terbesar adalah Mauna
Kea dan Mauna Loa dengan ketinggian puncaknya masing-masing 4205 dan 4170
meter. Dasarnya terletak pada dasar samudra yang dalamnya 5000 meter, sehingga
dengan demikian apabila diukur dari kakinya, maka ketinggiannya mencapai ± 9000 meter. Dan ini adalah lebih tinggi dari gunung
tertinggi di darat yaitu Mt.Everest di Pegunungan Himalaya. Mauna Loa dengan
ketinggian seperti itu merupakan tumpukan lava dari berulang kali erupsi sejak
750.000 tahun yang lalu.
3)
Erupsi rekahan: Tipe erupsi ini banyak dijumpai di
wilayah lantai samudra. Rekahan terjadi sebagai
akibat dari proses pemisahan pada litosfir, atau interaksi divergen lempeng
litosfir, dengan ukuran panjang hingga beberapa puluh kilometer. Contoh klasik
erupsi rekahan seperti ini dijumpai di Iceland yang terletak tepat diatas
punggung-tengah-Samudra Atlantik. Lava yang keluar dari rekahan seperti ini
bersifat sangat encer, akan menyebar ke-kedua arah dari rekahan dengan laju
kecepatan hampir 20 kiliometer/jam. Urut-urutan keluarnya lava akan membentuk
suatu dataran yang kadang tinggi dan disebut dataran basalt (plateau basalt) ,
atau “flood basalt”.
Gambar 2-36 Tipe
erupsi sentral (kiri) dan tipe erupsi rekahan (kanan)
Sepanjang sejarah geologi barangkali
erupsi rekahan yang berlangsung secara berulang-ulang dan menghasilkan aliran
basalt dalam jumlah yang sangat banyak mungkin hanya terjadi ditempat-tempat
tertentu di muka Bumi. Sebagai contoh adalah “Dataran Deccan” yang terdapat di
bagian Baratlaut Jazirah India. Kemudian di wilayah dataran Columbia di Negara
Bagian Washington dan Oregon hingga ke Idaho. Dalam ukuran yang agak kecil
dataran basalt juga dijumpai di selatan Vietnam, diutara Columbia Inggris dan
Patagonia. Demikian pula dalam ukuran yang lebih kecil dan berumur lebih muda
adalah di Afrika Selatan, Siberia Tengah, Abyssinia, beberapa tempat di amerika
Utara dan Selatan. Di Amerika Keweenawan Basalt, mengandung endapan tembaga
dalam jumlah besar. Erupsi rekahan yang pernah tercatat dalam sejarah sekarang
adalah yang terjadi di wilayah Iceland, yang terletak tepat diatas
punggung-tengah Samudra Atlantik. Erupsi terjadi pada tanggal 8 Juni 1783
melalui rekahan sepanjang 32 kilometer.
4)
Erupsi dibawah permukaan laut
Erupsi efusip yang terjadi 300-1000
meter dibawah permukaan laut atau disebut juga “submarine” , umumnya
berlangsung tenang. Lava yang dikeluarkan akan membeku dan membentuk lava
bantal. Tipe erupsi ini sedikit sekali mendapat perhatian karena terjadinya
jauh dibawah pengamatan. Lava yang membeku membentuk akan membentuk lava
“bantal” (pillow lava). Bentuknya melonjong dengan ukuran kurang dari 1.5 meter
dan penampang ± 30 Cm, dengan dasar yang mendatar
dan bagian atasnya membulat.
5)
Erupsi piroklastik atau erupsi
eksplosip
Erupsi piroklastik terjadi pada
magma yang kental, mengandung banyak gas dan mempunyai sifat letusan berkisar
antara sedang dan sangat dahsyat. Erupsi explosip umumnya banyak menghasilkan
piroklastika dan sedikit lava. Karena sifat magmanya yang kental maka lava yang
mengalir tidak akan dapat menempuh jarak yang jauh dari sumbernya, lubang
kepundan.
Silahkan download filenya dibawah ini sebagai acuan, bahan bacaan dan lainnya
Jika teman-teman masih bingung cara download silahkan klik link di bawah ini (CATATAN : LANGSUNG KE LANGKAH NO.7):